Langsung ke konten utama

Kehendak dan Kebahagiaan

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Bagi Arthur Schopenhauer, kehendak buta dan ketidaksadaran yang menentukan manusia, dunia dan sejarahnya. Baginya, akal budi manusia dikuasai oleh kehendak. Kehendak ibarat orang kuat yang buta mengangkat orang lumpuh yang dapat melihat. Manusia, dunia dan sejarah digerakkan oleh kehendak buta yang irasional tersebut. Kehendak yang tanpa alasan logis.kehendak irasional yang tak dapat benar-benar dipahami. Hidup manusia mengalami penderitaan karena kehendak yang menuntut untuk dipuaskan tak kunjung mendapat apa yang ia inginkan. Dan kehendak tidak punya tujuan akhir, ia senantiasa menghendaki. Akibatnya selalu ada penderitaan. Pemuasan satu keinginan menuntutnya untuk minta dipuaskan pada keinginan yang lain. Hal tersebut terjadi secara terus menerus hingga tidak ada kepuasan akhir. Hal inilah yang membuat Scopenhauer melihat secara pesimis hakikat kehidupan sebagai sebuah penderitaan yang tak kunjung henti. Ide tentang penderitaan juga...

Memahami Modernitas: Penjelasan Anthony Giddens dan Philip W. Sutton 

Oleh: Jabal Ali Husin Sab 

Sosiolog asal Inggris, Anthony Giddens


Modernitas adalah sebuah tema yang sering diperbincangkan bahkan diperdebatkan. Kerap kali modernitas diangkat sebagai sebuah konsep yang digalakkan untuk terwujud dan juga tak sedikit menuai kritikan. Tulisan ini berupaya menjelaskan tentang modernitas dengan menukil penjelasan sosiolog kenamaan Anthony Giddens dan Phillip W. Sutton (Essential Concepts in Sociology, 2014) sebagai sebuah topik kajian dalam sosiologi. 

Modernitas dapat dimaknai sebagai sebuah periode sejarah yang berawal dari Era Pencerahan Eropa (enlightenment) pada pertengahan abad kedelapan belas hingga setidaknya pertengahan 1980-an, ditandai dengan sekularisasi, rasionalisasi, demokratisasi, individualisasi, dan kebangkitan sains. 

Kata 'modern' dapat digunakan untuk merujuk pada segala sesuatu yang kontemporer (kekinian). Selama periode awal abad ke-20, modernisasi transportasi, rumah, sikap sosial, fashion dan banyak hal lain lagi secara luas dianggap penting. Namun, dalam teori sosial, 'modernitas' memiliki arti yang jauh lebih luas, mengacu pada keseluruhan periode sejarah dari pertengahan abad kedelapan belas hingga 1980-an. Modernitas bertitik tolak dari era feodalisme di Eropa. Dimana setelah masuknya era pos-feodalisme ditandai dengan beberapa ciri yang membedakannya dengan era feodalisme seperti industrialisasi, kapitalisme, urbanisasi dan urbanisme sebagai cara hidup, sekularisasi, penegakan dan pelanjutan dari demokrasi, aplikasi sains dalam metode produksi dan pergerakan menyeluruh dalam kesetaraan di semua aspek kehidupan. 

Modernisasi juga menyangkut dengan rasionalitas dalam berpikir dan bertindak, berlawanan dengan apa yang dianggap pra-modern atau kuno yaitu cara pandang terhadap dunia yang bersifat emosional dan berorientasi agama. Max Weber menjelaskan proses ini sebagai sebuah proses gradual dengan istilah “disenhancment of the world” (penidakkeramatan alam). 

Modernitas telah berhasil mendorong ledakan produksi barang industri secara masif yang membuat sejumlah negara mendapatkan keuntungan besar dan modernitas juga mendorong peningkatan kesetaraan hak di setiap aspek kehidupan. 

Selama abad ke-20, sejumlah ilmuan sosiologi berteori bahwa modernitas adalah model sosial yang ideal yang seharusnya perlu diterapkan oleh negara-negara di dunia. Tesis ini disebut dengan teori modernisasi, diantara pendukungnya adalah Walt Rostow (1961). 

Rostow berargumen bahwa modernisasi adalah sebuah proses bertahap dalam beberapa fase (sebagaimana evolusi-pen) berawal dari modernisasi awal ke tahap selanjutnya dimana ekonomi mulai berkembang. Masyarakat tradisional berbasis agraris atau agrikultur bisa menjadi modern dengan meninggalkan nilai-nilai tradisionalnya dan mulai berinvestasi untuk kemakmuran masa depan melalui proyek-proyek infrastruktur dan industri-industri baru. Dalam hal ini, kesinambungan investasi dalam membangun teknologi yang lebih canggih akan meningkatkan tingkat produksi dan menggerakkan daya konsumsi massa. Maka akan menciptakan pertumbuhan ekonomi dengan pola yang berkesinambungan. Meski Hongkong, Taiwan, Korea Selatan dan Singapura telah berhasil menerapkan pola modernisasi seperti ini, namun teori Rostow dianggap terlalu optimistik hari ini karena di sejumlah negara di Afrika misalnya, modernisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. 

Sosiolog Zygmunt Baumann (1987) berargumen bahwa kunci dalam memahami modernitas terletak pada budaya dan mentalitas yang khas. Bauman mengumpamakan kehidupan pre-modern sebagaimana semak belukar yang tumbuh liar tidak teratur, sementara modernitas ibarat taman dimana tumbuhan ditanam dan dirawat dalam sebuah ‘tatanan’ yang rapi dan teratur. 

Kritik atas Permasalahan Modernisasi 

Konsep modernitas dan modernisasi bukan tidak terlepas dari sejumlah masalah. Ada sejumpah pertanyaan terkait hal ini, apakah kapitalisme atau industrialisasi yang menjadi faktor penggerak (driving force) dalam mendorong modernisasi? Apakah peran demokratisasi dalam modernisasi? Apakah urbanisasi menjadi penyebab atau konsekuensi dari modernisasi? 

Kelompok Neo-Marxis mengkritik bahwa tidak ada bukti logis yang kuat yang membuktikan bahwa modernisasi mampu menjadi faktor yang mengubah masyarakat yang kurang berkembang (less developed society), menuju masyarakat yang kuat dalam pertumbuhan ekonomi dan tercapainya kesejahteraan. 

Bahkan di level global, sejumlah negara miskin dan berkembang mengalami ketergantungan secara permanen dengan negara-negara maju. Para pekerja di negara berkembang menjadi buruh yang dibayar dengan murah oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang berbasis di negara-negara Barat. 

Hari ini muncul sebuah ide yang mendorong keragaman pemahaman tentang konsep dan pola modernitas yang disebut multiple modernities, sebagai kritik bagi modernisasi yang dipahami sejalan dengan westernisasi (Eisenstadt, 2002). Ide ini menantang asumsi yang lebih awal bahwa modernitas bersifat tunggal dan linear dengan mengambil standar atau seragam dengan modernitas versi masyarakat Barat. 

Studi empiris tentang modernisasi di seluruh dunia menunjukkan bahwa ada sejumlah jalan beragam menuju modernitas (Wagner, 2012). Masyarakat Jepang yang modern jelas berbeda dengan kemodernan yang ada di Amerika Serikat. Dan modernitas di Cina juga berkembang dalam bentuk yang berbeda pula dengan realitas masyarakat modern di Barat. 

Bentuk dari modernitas, bahkan di Amerika Serikat sendiri, tidak menjadi begitu sekular sebagaimana yang diprediksi, masyarakatnya tetap berkarakter religius, namun di saat bersamaan menerima industrialisme dan perkembangan teknologi yang berkelanjutan. 

Anthony Giddens dan Philips W. Sutton juga mencontohkan modernitas versi Saudi Arabia (juga terjadi di Uni Emirat Arab, Qatar, dll) yang mana bukan hanya tampak secara jelas religius, namun juga selektif dalam memilih dan memilah bagian mana dari modernitas versi Barat untuk diambil, serta menambahkan ciri khas unik modernitas versi mereka sendiri. Agenda keragaman modernitas (multiple modernities) menurut Giddens dan Sutton, tampaknya meghasilkan evaluasi terhadap konsep modernitas yang lebih realistis untuk ‘menghidupkan’ kembali diskursus mengenai modernitas di masa depan.

Komentar

  1. Sangat inspiratif, dan bermamfaat,,
    Kunjungi juga blog saya
    MyTekiz.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Book Review)

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Karya bertajuk ' Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ' merupakan salah satu karya penting dalam kajian sejarah peradaban Melayu-Nusantara. Karya ini ditulis oleh ilmuwan terkemuka, Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang disampaikannya dalam pengukuhannya sebagai Professor Bahasa dan Kesusasteraan Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia tahun 1974. Dalam karya ini, Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bagaimana seharusnya penelitian dan pengkajian sejarah, khususnya terhadap sejarah dan kebudayaan dunia Melayu. Ia juga menjabarkan kekeliruan dari pendapat-pendapat ilmuwan Barat dalam menyimpulkan sejarah Melayu-Nusantara. Beliau menyampaikan bahwa sejarah seyogyanya tidak terlalu fokus pada fakta-fakta mikro yang tidak bermanfaat dalam menggambarkan proyeksi sejarah yang utuh. Kumpulan-kumpulan fakta sejarah tersebut haruslah menggambarkan pandangan alam ( worldview  atau  weltsanchauung ) dari sebuah peradaban. Dunia Melayu telah ...

Pertemuan UAS dan Caknun: Bertemunya dua arus kebudayaan; Islam Melayu dan Islam Jawa

Dua orang cerdik-pandai dari dua arus kebudayaan besar Nusantara bertemu. Pembicaraan dua tokoh ini pastinya menghasilkan dialog silang kebudayaan yang amat menarik. Pertemuan UAS dan Caknun bukan hanya soal kebudayaan, lebih dari itu, adalah perkara kebangsaan.  Kita berharap, sekat-sekat etnisitas dan rasialisme yang bertendensi negatif dan mengarah pada prejudisme antar wilayah dan etnis bisa mencair bahkan lenyap di Indonesia. Ini adalah perkara penting dalam pembentukan nation-building Indonesia yang belum sepenuhnya selesai.  Pertemuan ini mewakili bagian dari cita-cita bangsa Indonesia sejak visi imaginer tentang bangsa Indonesia dirumuskan para bapak pendiri bangsa di era pergerakan kemerdekaan. Visi sebuah bangsa yang satu, menyatukan sekat perbedaan ras dan etnis. Keragamaan etnis yang memperkaya kesatuan sebuah entitas kebangsaan yang diandaikan kala itu, Bangsa Indonesia. Dirajut dalam semboyan: Bhineka Tunggal Ika. Indonesia pernah dan masih mengalami ...