Oleh: Jabal Ali Husin Sab
Menaraputih.com
Machiavelli pernah berkata bahwa pemimpin harus
memiliki sifat keberanian singa dan kelicikan serigala. Perpaduan kedua sifat
tersebut dianggap ideal untuk dimiliki seorang pemimpin. Ketika mengumpamakan
sifat-sifat hewan untuk mengandaikan sifat ideal bagi seorang pemimpin,
Machiavelli sebenarnya sedang menjelaskan tentang hakikat diri manusia,
terlepas ia sadari atau tidak.
Ungkapan tersebut melukiskan bahwa manusia memiliki
potensi sifat-sifat kebinatangan dalam dirinya. Yang membedakan manusia dengan
hewan adalah: setiap jenis hewan hanya punya jenis sifat yang identik pada
jenisnya; serigala memiliki sifat licik, babi identik dengan sifat tamak dan
rakus, hewan-hewan predator memiliki sifat buas dan memangsa. Namun setiap
hewan hanya memiliki sifatnya masing-masing.
Ular tidak punya sifat singa dan singa tidak punya
sifat ular. Sementara manusia mempunyai potensi untuk memiliki semua
sifat-sifat yang dimiliki semua hewan. Manusia bisa menjadi buas, tamak, rakus,
licik dan sifat-sifat hewan lainnya secara bersamaan. Kenyataan ini mungkin
membuat manusia bisa menjadi lebih binatang dari binatang itu sendiri.
Lalu, apa yang menjadikan manusia dianggap sebagai
makhluk yang paling sempurna? Manusia sempurna karena mempunyai potensi
kemanusiaannya. Potensi kesempurnaan manusia berada pada sesuatu yang dimiliki
manusia yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Manusia disebut
sebagai hewan yang berpikir. Ia mempunyai dimensi tak terlihat (ruhani), yang
membedakan kesamaannya secara jasmani dengan hewan (sebagai mamalia dan
veterbrata): yaitu akal dan hati. Meski tak terlihat, namun kita semua sepakat
bahwa manusia punya yang namanya akal dan hati, kita sadar akan keberadaannya.
Segala sesuatu yang kita pikirkan, proses yang kita
lalui dalam memahami sesuatu, keputusan yang kita ambil dan segala sesuatu yang
melandasi pemahaman manusia atas sesuatu; lahirnya ucapan dan tindakan, selalu
melibatkan kedua organ tubuh tak terlihat tersebut. Pada dimensi batin manusia
ini, potensi kemanusiaan berada pada akal dan hati, di antara rasionalitas dan
perasaan. Titik keseimbangan di antara keduanya menentukan pikiran dan tindakan
manusia sehingga menjadi selayaknya manusia.
Pada kenyataannya manusia tak selalu bertindak
dengan hanya melibatkan aspek ruhani. Aspek jasmani manusia (yang identik
dengan sifat-sifat hewan tadi) selalu berupaya untuk menggoyah atau
mengintervensi mekanisme kerja ruhani. Realitas manusia yang keberadaannya
berada dalam dualitas: akal-hati, logika-perasaan, jasmani-ruhani, sifat
kemanusiaan-kebinatangan, mengharuskan manusia untuk memilih menjadi salah
satunya—kemampuan memilih sendiri adalah potensi, keutamaan yang diberikan
kepada manusia yang membedakannya dengan makhluk hidup lain. Memilih menjadi
manusia atau menjadi seperti binatang.
Dualitas jasmani dan rohani serta potensi
kemanusiaan dan kebinatangan tadi, tidak diartikan sebagai dualisme. Melainkan,
dualitas tersebut adalah dua kutub dimana menjadi manusia berarti memilih untuk
condong ke salah satunya; ke langit atau ke bumi, ke timur atau ke barat,
menuju kesempurnaan atau kecelaan.
Terbang
Manusia juga memiliki kemampuan untuk mengandaikan
sesuatu. Mempunyai keinginan untuk menjadi (seperti) sesuatu atau memiliki
sesuatu; baik suatu sifat, benda maupun kemampuan tertentu. Manusia
mengandaikan untuk bisa terbang, maka diciptakanlah pesawat. Manusia ingin
dirinya mampu terbang seperti burung, maka lahirlah sebuah tokoh imajiner yang
memiliki kemampuan untuk terbang, maka dikaranglah cerita tentang Superman.
Lahirnya tokoh
Superman adalah bagian dari mengandaikan kesempurnaan manusia. Dalam film Superman, kesempurnaan seorang manusia
yang membedakan manusia lainnya adalah kemampuan supernya, yang paling nyata
adalah terbang, disamping memiliki kekuatan fisik lainnya.
Tokoh Superman
adalah contoh bagaimana persepsi kesempurnaan dan superioritas manusia
dibayangkan. Sifat dan kemampuan yang menjadi prasyarat untuk menjadi super dan
sempurna—dapat terbang dan lebih kuat—adalah persepsi yang melihat manusia
hanya pada sisi jasmani/fisik. Padahal burung terbang jauh lebih tinggi, gajah
jauh lebih kuat, namun aspek tersebut tidak membuatnya sempurna.
Karena kesempurnaan ciptaan bukan terletak pada
aspek jasmani/fisik. Kesempurnaan adalah dengan menjadi manusia yang aspek
jasmaninya bergerak selaras dengan aspek ruhani. Akal dan hati sebagai pembeda
yang utama, diletakkan di posisi paling depan.
Ketika kita mempertanyakan tentang potensi
kesempurnaan pada tataran ideal, di sisi lain kita sadar bahwa dalam kehidupan,
kesempurnaan manusia seolah utopis untuk digapai. Saya beranggapan bahwa
kesempurnaan manusia adalah kesempurnaan makhluk. Kesempurnaan sebagai ciptaan
yang mengandung ketidaksempurnaan. Bukan berarti kesempurnaan manusia adalah
dalam ketidaksempurnaan secara bersamaan (dualisme), namun kesempurnaan manusia
adalah dengan kadar kesempurnaannya sendiri, untuk membedakan manusia sebagai
makhluk (kesempurnaan ciptaan) dengan kesempurnaan
Tuhan (kesempurnaan Pencipta). Kesempurnaan manusia sebagai makhluk sendiri
adalah bukti terhadap kesempurnaan ciptaan Tuhan.
Alasan inilah kenapa manusia diciptakan tak bersayap.
Karena sayap dan terbang tidak membuat makhluk menjadi mulia. Punya sayap dan
terbang bukanlah kriteria kemuliaan. Kemuliaan manusia adalah menjadi khalifah
di bumi, bukan khalifah di langit. Namun dengan aspek ruhaninya, ia mampu
menangkap dan memahami kebenaran pengetahuan langit, memanifestasikan potensi
kesempurnaan manusia yang diberikan pencipta, yang dengan itu lahirlah
kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan itulah ia menjadi khalifah, memerintah di
muka bumi, sebagai sebaik-baik makhluk yang diciptakan dan diturunkan dari
langit.
Komentar
Posting Komentar