Langsung ke konten utama

Kehendak dan Kebahagiaan

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Bagi Arthur Schopenhauer, kehendak buta dan ketidaksadaran yang menentukan manusia, dunia dan sejarahnya. Baginya, akal budi manusia dikuasai oleh kehendak. Kehendak ibarat orang kuat yang buta mengangkat orang lumpuh yang dapat melihat. Manusia, dunia dan sejarah digerakkan oleh kehendak buta yang irasional tersebut. Kehendak yang tanpa alasan logis.kehendak irasional yang tak dapat benar-benar dipahami. Hidup manusia mengalami penderitaan karena kehendak yang menuntut untuk dipuaskan tak kunjung mendapat apa yang ia inginkan. Dan kehendak tidak punya tujuan akhir, ia senantiasa menghendaki. Akibatnya selalu ada penderitaan. Pemuasan satu keinginan menuntutnya untuk minta dipuaskan pada keinginan yang lain. Hal tersebut terjadi secara terus menerus hingga tidak ada kepuasan akhir. Hal inilah yang membuat Scopenhauer melihat secara pesimis hakikat kehidupan sebagai sebuah penderitaan yang tak kunjung henti. Ide tentang penderitaan juga...

Mengapa Manusia tak Bersayap?



Oleh: Jabal Ali Husin Sab

Menaraputih.com

Machiavelli pernah berkata bahwa pemimpin harus memiliki sifat keberanian singa dan kelicikan serigala. Perpaduan kedua sifat tersebut dianggap ideal untuk dimiliki seorang pemimpin. Ketika mengumpamakan sifat-sifat hewan untuk mengandaikan sifat ideal bagi seorang pemimpin, Machiavelli sebenarnya sedang menjelaskan tentang hakikat diri manusia, terlepas ia sadari atau tidak.

Ungkapan tersebut melukiskan bahwa manusia memiliki potensi sifat-sifat kebinatangan dalam dirinya. Yang membedakan manusia dengan hewan adalah: setiap jenis hewan hanya punya jenis sifat yang identik pada jenisnya; serigala memiliki sifat licik, babi identik dengan sifat tamak dan rakus, hewan-hewan predator memiliki sifat buas dan memangsa. Namun setiap hewan hanya memiliki sifatnya masing-masing.

Ular tidak punya sifat singa dan singa tidak punya sifat ular. Sementara manusia mempunyai potensi untuk memiliki semua sifat-sifat yang dimiliki semua hewan. Manusia bisa menjadi buas, tamak, rakus, licik dan sifat-sifat hewan lainnya secara bersamaan. Kenyataan ini mungkin membuat manusia bisa menjadi lebih binatang dari binatang itu sendiri.

Lalu, apa yang menjadikan manusia dianggap sebagai makhluk yang paling sempurna? Manusia sempurna karena mempunyai potensi kemanusiaannya. Potensi kesempurnaan manusia berada pada sesuatu yang dimiliki manusia yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Manusia disebut sebagai hewan yang berpikir. Ia mempunyai dimensi tak terlihat (ruhani), yang membedakan kesamaannya secara jasmani dengan hewan (sebagai mamalia dan veterbrata): yaitu akal dan hati. Meski tak terlihat, namun kita semua sepakat bahwa manusia punya yang namanya akal dan hati, kita sadar akan keberadaannya.

Segala sesuatu yang kita pikirkan, proses yang kita lalui dalam memahami sesuatu, keputusan yang kita ambil dan segala sesuatu yang melandasi pemahaman manusia atas sesuatu; lahirnya ucapan dan tindakan, selalu melibatkan kedua organ tubuh tak terlihat tersebut. Pada dimensi batin manusia ini, potensi kemanusiaan berada pada akal dan hati, di antara rasionalitas dan perasaan. Titik keseimbangan di antara keduanya menentukan pikiran dan tindakan manusia sehingga menjadi selayaknya manusia.

Pada kenyataannya manusia tak selalu bertindak dengan hanya melibatkan aspek ruhani. Aspek jasmani manusia (yang identik dengan sifat-sifat hewan tadi) selalu berupaya untuk menggoyah atau mengintervensi mekanisme kerja ruhani. Realitas manusia yang keberadaannya berada dalam dualitas: akal-hati, logika-perasaan, jasmani-ruhani, sifat kemanusiaan-kebinatangan, mengharuskan manusia untuk memilih menjadi salah satunya—kemampuan memilih sendiri adalah potensi, keutamaan yang diberikan kepada manusia yang membedakannya dengan makhluk hidup lain. Memilih menjadi manusia atau menjadi seperti binatang.

Dualitas jasmani dan rohani serta potensi kemanusiaan dan kebinatangan tadi, tidak diartikan sebagai dualisme. Melainkan, dualitas tersebut adalah dua kutub dimana menjadi manusia berarti memilih untuk condong ke salah satunya; ke langit atau ke bumi, ke timur atau ke barat, menuju kesempurnaan atau kecelaan.

Terbang

Manusia juga memiliki kemampuan untuk mengandaikan sesuatu. Mempunyai keinginan untuk menjadi (seperti) sesuatu atau memiliki sesuatu; baik suatu sifat, benda maupun kemampuan tertentu. Manusia mengandaikan untuk bisa terbang, maka diciptakanlah pesawat. Manusia ingin dirinya mampu terbang seperti burung, maka lahirlah sebuah tokoh imajiner yang memiliki kemampuan untuk terbang, maka dikaranglah cerita tentang Superman.

Lahirnya tokoh Superman adalah bagian dari mengandaikan kesempurnaan manusia. Dalam film Superman, kesempurnaan seorang manusia yang membedakan manusia lainnya adalah kemampuan supernya, yang paling nyata adalah terbang, disamping memiliki kekuatan fisik lainnya.

Tokoh Superman adalah contoh bagaimana persepsi kesempurnaan dan superioritas manusia dibayangkan. Sifat dan kemampuan yang menjadi prasyarat untuk menjadi super dan sempurna—dapat terbang dan lebih kuat—adalah persepsi yang melihat manusia hanya pada sisi jasmani/fisik. Padahal burung terbang jauh lebih tinggi, gajah jauh lebih kuat, namun aspek tersebut tidak membuatnya sempurna.

Karena kesempurnaan ciptaan bukan terletak pada aspek jasmani/fisik. Kesempurnaan adalah dengan menjadi manusia yang aspek jasmaninya bergerak selaras dengan aspek ruhani. Akal dan hati sebagai pembeda yang utama, diletakkan di posisi paling depan.

Ketika kita mempertanyakan tentang potensi kesempurnaan pada tataran ideal, di sisi lain kita sadar bahwa dalam kehidupan, kesempurnaan manusia seolah utopis untuk digapai. Saya beranggapan bahwa kesempurnaan manusia adalah kesempurnaan makhluk. Kesempurnaan sebagai ciptaan yang mengandung ketidaksempurnaan. Bukan berarti kesempurnaan manusia adalah dalam ketidaksempurnaan secara bersamaan (dualisme), namun kesempurnaan manusia adalah dengan kadar kesempurnaannya sendiri, untuk membedakan manusia sebagai makhluk (kesempurnaan ciptaan)  dengan kesempurnaan Tuhan (kesempurnaan Pencipta). Kesempurnaan manusia sebagai makhluk sendiri adalah bukti terhadap kesempurnaan ciptaan Tuhan.

Alasan inilah kenapa manusia diciptakan tak bersayap. Karena sayap dan terbang tidak membuat makhluk menjadi mulia. Punya sayap dan terbang bukanlah kriteria kemuliaan. Kemuliaan manusia adalah menjadi khalifah di bumi, bukan khalifah di langit. Namun dengan aspek ruhaninya, ia mampu menangkap dan memahami kebenaran pengetahuan langit, memanifestasikan potensi kesempurnaan manusia yang diberikan pencipta, yang dengan itu lahirlah kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan itulah ia menjadi khalifah, memerintah di muka bumi, sebagai sebaik-baik makhluk yang diciptakan dan diturunkan dari langit.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Book Review)

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Karya bertajuk ' Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ' merupakan salah satu karya penting dalam kajian sejarah peradaban Melayu-Nusantara. Karya ini ditulis oleh ilmuwan terkemuka, Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang disampaikannya dalam pengukuhannya sebagai Professor Bahasa dan Kesusasteraan Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia tahun 1974. Dalam karya ini, Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bagaimana seharusnya penelitian dan pengkajian sejarah, khususnya terhadap sejarah dan kebudayaan dunia Melayu. Ia juga menjabarkan kekeliruan dari pendapat-pendapat ilmuwan Barat dalam menyimpulkan sejarah Melayu-Nusantara. Beliau menyampaikan bahwa sejarah seyogyanya tidak terlalu fokus pada fakta-fakta mikro yang tidak bermanfaat dalam menggambarkan proyeksi sejarah yang utuh. Kumpulan-kumpulan fakta sejarah tersebut haruslah menggambarkan pandangan alam ( worldview  atau  weltsanchauung ) dari sebuah peradaban. Dunia Melayu telah ...

Pertemuan UAS dan Caknun: Bertemunya dua arus kebudayaan; Islam Melayu dan Islam Jawa

Dua orang cerdik-pandai dari dua arus kebudayaan besar Nusantara bertemu. Pembicaraan dua tokoh ini pastinya menghasilkan dialog silang kebudayaan yang amat menarik. Pertemuan UAS dan Caknun bukan hanya soal kebudayaan, lebih dari itu, adalah perkara kebangsaan.  Kita berharap, sekat-sekat etnisitas dan rasialisme yang bertendensi negatif dan mengarah pada prejudisme antar wilayah dan etnis bisa mencair bahkan lenyap di Indonesia. Ini adalah perkara penting dalam pembentukan nation-building Indonesia yang belum sepenuhnya selesai.  Pertemuan ini mewakili bagian dari cita-cita bangsa Indonesia sejak visi imaginer tentang bangsa Indonesia dirumuskan para bapak pendiri bangsa di era pergerakan kemerdekaan. Visi sebuah bangsa yang satu, menyatukan sekat perbedaan ras dan etnis. Keragamaan etnis yang memperkaya kesatuan sebuah entitas kebangsaan yang diandaikan kala itu, Bangsa Indonesia. Dirajut dalam semboyan: Bhineka Tunggal Ika. Indonesia pernah dan masih mengalami ...