Langsung ke konten utama

Kehendak dan Kebahagiaan

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Bagi Arthur Schopenhauer, kehendak buta dan ketidaksadaran yang menentukan manusia, dunia dan sejarahnya. Baginya, akal budi manusia dikuasai oleh kehendak. Kehendak ibarat orang kuat yang buta mengangkat orang lumpuh yang dapat melihat. Manusia, dunia dan sejarah digerakkan oleh kehendak buta yang irasional tersebut. Kehendak yang tanpa alasan logis.kehendak irasional yang tak dapat benar-benar dipahami. Hidup manusia mengalami penderitaan karena kehendak yang menuntut untuk dipuaskan tak kunjung mendapat apa yang ia inginkan. Dan kehendak tidak punya tujuan akhir, ia senantiasa menghendaki. Akibatnya selalu ada penderitaan. Pemuasan satu keinginan menuntutnya untuk minta dipuaskan pada keinginan yang lain. Hal tersebut terjadi secara terus menerus hingga tidak ada kepuasan akhir. Hal inilah yang membuat Scopenhauer melihat secara pesimis hakikat kehidupan sebagai sebuah penderitaan yang tak kunjung henti. Ide tentang penderitaan juga...

Sejarah Syekh Abdurrauf Al Fanshuri (Syiah Kuala)


Oleh: Jabal Ali Husin Sab

Syekh Abdurrauf bin Ali Al Fansuri As Singkili lahir di Singkil, Aceh pada tahun 1024 H/1615 M dan wafat di Kuala Aceh pada tahun 1105 H/1693 M. Beliau seorang ulama besar Aceh yang terkenal dan memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Nusantara, dimana sampai sekarang kitab-kitab karangan beliau masih dipelajari. 

Sebutan gelar beliau yang terkenal adalah Teungku Chik Syiah Kuala. Yang mana dalam bahasa Aceh artinya Syeikh Ulama di Kuala. Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsummal Fansuri As-Singkili. 

Menurut riwayat yang ditulis dari dari kitab yang dikarang oleh Faqih Shaghir, seorang ulama di sumatera Barat berbunyi: “Maka adalah saya Fakih Shaghir menerima cerita daripada saya punya bapa, sebabnya saya mengambil pegangan ilmu hakikat, kerana cerita ini adalah ia setengah daripada adat dan tertib waruk orang yang mengambil fatwa juga adanya. Yakni adalah seorang aulia Allah dan qutub lagi kasyaf lagi mempunyai keramat iaitu, di tanah Aceh iaitu Tuan Syeikh Abdurrauf.” 

Keluarga Syekh Abdurrauf berasal dari Persia yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri di pesantren Singkil. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan juga ke Samudera Pasai, termasuk dengan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani (qadhi pada masa sultan Iskandar Muda) hingga ke Bandar Darussalam (Banda Aceh). 

Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, disana ia belajar kepada sejumlah ulama di Timur Tengah. Dalam catatan sejarah, disebutkan bahwa beliau berguru di beberapa tempat, seperti di Yaman yaitu di Zabid, Moha, Baitul Faqih, dan lain-lain, Doha di Semenanjung Qatar, Madinah, Mekkah, dan Lahor di India. Syekh Abdurrauf juga menyebutkan daftar 11 tarekat sufi yang beliau amalkan, antara lain: Syattariyah, Qadiriyah, Kubrawiyah, Suhrawardiyah, dan Naqsyabandiyah. 

Guru mursyid beliau adalah Syekh Ahmad Al Qusyasyi Al Madani, ulama besar di Madinah pada masa itu, dimana Syekh Abdurrauf mengambil bai’at thariqah Syattariyah. 

Sepeninggal Syekh Ahmad Al Qusyasyi, Syekh Abdurrauf berguru kepada murid Syekh Ahmad Al Qusyasyi yang lain yaitu Syekh Ibrahim Al Kurani. Setelah kurang lebih 19 tahun menuntut ilmu di Jazirah Arab, sekitar tahun 1622 M Syekh Abdurrauf pulang kembali ke Aceh. Beliau kemudian mengajarkan thariqah Syattariyah di Aceh. 

Banyak santri yang berdatangan untuk berguru kepada beliau. Muridnya berasal dari berbagai daerah di wilayah Nusantara bahkan negara lainnya. Beliau dalam kerajaan Aceh diangkat sebagai Qadhi Malikul ‘Adil. Pengaruh beliau sangat penting di kerajaan Aceh. Hingga di Aceh kita kenal pepatah yang berbunyi “Adat bak Poe Teumeurehom, Hukom bak Syeikh di Kuala,” maksudnya, “Adat di bawah kekuasaan almarhum (raja), sementara syariat (Islam) di bawah Syiah Kuala. 

Syekh Abdurrauf telah menulis banyak kitab, tidak kurang dari 21 buah kitab. Yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab fiqih dan selebihnya 15 buah kitab tasawuf. Syekh Abdurrauf adalah ulama yang pertama kali menulis kitab tafsir Alquran dalam bahasa Melayu yang diberi judul Tarjuman al-Mustafid yang merujuk kepada Tafsir Baidhawi. 

Murid-murid Syekh Abdurrauf yang menjadi ulama terkenal diantaranya: 

Baba Daud bin Agha Ismail bin Agha Mustafa al-Jawi ar-Rumi. Ulama Aceh keturunan Turki yang juga dikenal dengan Teungku Chik di Leupeu, pengarang kitab Masailal Muhtadi. 

Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Beliau telah menyebarkan thariqah Syattariah dari jalur Syekh Abdurrauf hingga ke Pulau Jawa. 

Murid Syeikh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri di Semenanjung Tanah Melayu (Malaysia) pula, yang paling terkenal ialah Syeikh Abdul Malik bin Abdullah Terengganu atau yang dikenal dengan Tok Ku Pulau Manis. Seorang ulama yang dikenal sebagai Wali Tanah Melayu. 

Murid lainnya yang juga masyhur adalah Syekh Jamaluddin al-Tursani. Yang pernah menjadi Qadhi Malikul Adil di kerajaan Aceh pada awal abad ke-18 M. 

Syeikh Abdurrauf meninggal dunia pada tahun 1693, Tgl 22 bulan syawal (menurut ulama Aceh dahulu) dalam usia 73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, dimana makamnya kita ziarahi hingga saat ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Book Review)

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Karya bertajuk ' Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ' merupakan salah satu karya penting dalam kajian sejarah peradaban Melayu-Nusantara. Karya ini ditulis oleh ilmuwan terkemuka, Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang disampaikannya dalam pengukuhannya sebagai Professor Bahasa dan Kesusasteraan Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia tahun 1974. Dalam karya ini, Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bagaimana seharusnya penelitian dan pengkajian sejarah, khususnya terhadap sejarah dan kebudayaan dunia Melayu. Ia juga menjabarkan kekeliruan dari pendapat-pendapat ilmuwan Barat dalam menyimpulkan sejarah Melayu-Nusantara. Beliau menyampaikan bahwa sejarah seyogyanya tidak terlalu fokus pada fakta-fakta mikro yang tidak bermanfaat dalam menggambarkan proyeksi sejarah yang utuh. Kumpulan-kumpulan fakta sejarah tersebut haruslah menggambarkan pandangan alam ( worldview  atau  weltsanchauung ) dari sebuah peradaban. Dunia Melayu telah ...

Mengapa Manusia tak Bersayap?

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Menaraputih.com Machiavelli pernah berkata bahwa pemimpin harus memiliki sifat keberanian singa dan kelicikan serigala. Perpaduan kedua sifat tersebut dianggap ideal untuk dimiliki seorang pemimpin. Ketika mengumpamakan sifat-sifat hewan untuk mengandaikan sifat ideal bagi seorang pemimpin, Machiavelli sebenarnya sedang menjelaskan tentang hakikat diri manusia, terlepas ia sadari atau tidak. Ungkapan tersebut melukiskan bahwa manusia memiliki potensi sifat-sifat kebinatangan dalam dirinya. Yang membedakan manusia dengan hewan adalah: setiap jenis hewan hanya punya jenis sifat yang identik pada jenisnya; serigala memiliki sifat licik, babi identik dengan sifat tamak dan rakus, hewan-hewan predator memiliki sifat buas dan memangsa. Namun setiap hewan hanya memiliki sifatnya masing-masing. Ular tidak punya sifat singa dan singa tidak punya sifat ular. Sementara manusia mempunyai potensi untuk memiliki semua sifat-sifat yang dimiliki semua hewan. Manusia bis...

Kehendak dan Kebahagiaan

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Bagi Arthur Schopenhauer, kehendak buta dan ketidaksadaran yang menentukan manusia, dunia dan sejarahnya. Baginya, akal budi manusia dikuasai oleh kehendak. Kehendak ibarat orang kuat yang buta mengangkat orang lumpuh yang dapat melihat. Manusia, dunia dan sejarah digerakkan oleh kehendak buta yang irasional tersebut. Kehendak yang tanpa alasan logis.kehendak irasional yang tak dapat benar-benar dipahami. Hidup manusia mengalami penderitaan karena kehendak yang menuntut untuk dipuaskan tak kunjung mendapat apa yang ia inginkan. Dan kehendak tidak punya tujuan akhir, ia senantiasa menghendaki. Akibatnya selalu ada penderitaan. Pemuasan satu keinginan menuntutnya untuk minta dipuaskan pada keinginan yang lain. Hal tersebut terjadi secara terus menerus hingga tidak ada kepuasan akhir. Hal inilah yang membuat Scopenhauer melihat secara pesimis hakikat kehidupan sebagai sebuah penderitaan yang tak kunjung henti. Ide tentang penderitaan juga...