Oleh: Jabal Ali Husin Sab Bagi Arthur Schopenhauer, kehendak buta dan ketidaksadaran yang menentukan manusia, dunia dan sejarahnya. Baginya, akal budi manusia dikuasai oleh kehendak. Kehendak ibarat orang kuat yang buta mengangkat orang lumpuh yang dapat melihat. Manusia, dunia dan sejarah digerakkan oleh kehendak buta yang irasional tersebut. Kehendak yang tanpa alasan logis.kehendak irasional yang tak dapat benar-benar dipahami. Hidup manusia mengalami penderitaan karena kehendak yang menuntut untuk dipuaskan tak kunjung mendapat apa yang ia inginkan. Dan kehendak tidak punya tujuan akhir, ia senantiasa menghendaki. Akibatnya selalu ada penderitaan. Pemuasan satu keinginan menuntutnya untuk minta dipuaskan pada keinginan yang lain. Hal tersebut terjadi secara terus menerus hingga tidak ada kepuasan akhir. Hal inilah yang membuat Scopenhauer melihat secara pesimis hakikat kehidupan sebagai sebuah penderitaan yang tak kunjung henti. Ide tentang penderitaan juga...
Oleh: Jabal Ali Husin Sab
Bagi Arthur Schopenhauer, kehendak buta dan ketidaksadaran yang menentukan manusia, dunia dan sejarahnya. Baginya, akal budi manusia dikuasai oleh kehendak. Kehendak ibarat orang kuat yang buta mengangkat orang lumpuh yang dapat melihat. Manusia, dunia dan sejarah digerakkan oleh kehendak buta yang irasional tersebut. Kehendak yang tanpa alasan logis.kehendak irasional yang tak dapat benar-benar dipahami.
Hidup manusia mengalami penderitaan karena kehendak yang menuntut untuk dipuaskan tak kunjung mendapat apa yang ia inginkan. Dan kehendak tidak punya tujuan akhir, ia senantiasa menghendaki. Akibatnya selalu ada penderitaan.
Pemuasan satu keinginan menuntutnya untuk minta dipuaskan pada keinginan yang lain. Hal tersebut terjadi secara terus menerus hingga tidak ada kepuasan akhir. Hal inilah yang membuat Scopenhauer melihat secara pesimis hakikat kehidupan sebagai sebuah penderitaan yang tak kunjung henti.
Ide tentang penderitaan juga ada dalam konsep kekristenan dimana manusia terlahir dengan konsep membawa dosa yang dikenal dengan original sin. Dunia adalah tempat dimana manusia menebus dosanya melalui penderitaan.
Apabila kita ingin menilik tentang pemahaman kehidupan masyarakat Barat, kita akan menemui konsep kehidupan yang dikenal dengan istilah tragedi. Tragedi berawal dari masa Yunani dalam mitologi tentang Sishyphus yang dengan susah payah mendorong batu besar ke atas puncak gunung. Lalu setelah sampai ke atas puncak gunung, batu tersebut digelindingkan lagi ke bawah dan kemudian dengan susah payah diulangi kembali untuk didorong ke atas puncak gunung. Begitulah seterusnya. Proses tanpa makna yang tanpa henti ini menandai bahwa hidup adalah tragedi. Tanpa suatu tujuan yang jelas dan pasti.
Hidup yang tanpa tujuan ini bagi salah seorang filsuf eksistensialis asal Perancis Jean Paul Sartre adalah kutukan kebebasan. Manusia dikutuk untuk bebas. Bebas untuk hidup tanpa suatu tujuan yang pasti. Hidup semacam ini adalah tragedi pahit, kutukan kelam yang harus diterima manusia. Untuk itu, manusia harus mencari sendiri tujuan hidupnya. Karena hidup dipahami sebagai sebuah keberlangsungan tanpa makna.
Bagi Nietschze yang mengawali Sartre dalam filsafat eksistensialisme beranggapan bahwa manusia harus menjadi super. Harus kuat dan kokoh untuk menghadapi kehidupan yang memang pahit, berupa tragedi dan kutukan. Untuk itu manusia harus melampaui segala sesuatu. Kesadarannya harus melampaui, hingga harus melampaui Tuhan. Bahkan bagi Nietschze, Tuhan dianggap telah mati. Karena baginya manusia dapat hidup dan menjadi super bahkan tanpa Tuhan. Manusia dapat menentukan nasibnya sendiri melalui dirinya sendiri.
Beginilah kehidupan yang kelam dan muram dilukiskan dalam filsafat Barat. Sesuatu yang tampak berbeda apabila kita coba menilik pada spiritualitas Timur, khususnya dalam tradisi tasawuf dalam Islam.
Islam memahami kehidupan sebagai sarana penghambaan Tuhan, yang meskipun hidup diatur dalam aturan hukum, namun kehidupan dan alam semesta adalah sarana untuk melihat manifestasi kesempurnaan Tuhan. Melihat keindahan Tuhan dalam ciptaan-Nya, proses penghambaan diri terhadap Yang Maha Indah. Sebuah proses penghambaan yang menghantarkan manusia untuk mengenal keindahan-Nya dan mencapai tahapan yang kita namakan kebahagiaan.
***
Apa yang menjadi titik perhatian Scopenhauer telah pun dijelaskan oleh para ulama tasawuf. Misalnya oleh Imam Ghazali dalam Kimiya Sa'adah tentang hakikat manusia yang dengan mengenal dirinya, mengenal Tuhannya dan berjalan menuju Tuhannya, manusia mendapatkan kebahagiaan.
Kehendak yang dipahami oleh Schopenhauer adalah hakikat dari nafsu manusia yang padanya ada hawa; keinginan hewani dan nafsi yang merupakan potensi keinginan rendah—duniawi atau materi. Sementara ada potensi ruh yang seringkali tidak tergali.
Ruh menyenangi keindahan ruhani, syair pujian ketuhanan, musik-musik yang mengiringi madah pujian Ilahi, ilmu, kata-kata hikmah dan kebijaksanaan dan juga senang dan takjub atas keindahan dan makna terdalam dari firman Ilahi. Ruh adalah substansi manusia yang berasal dari Tuhan yang dengannya manusia merasakan pengalaman spiritual yang membawanya kepada taraf kebahagiaan.
Dan tidak ada jalan untuk menggali potensi ruhani manusia selain melalui jalan spiritualitas yang memiliki kadiah-kaidah dan nidzham (sistem/keteraturan) logis tersendiri yang dalam keilmuan Islam dikenali dengan ilmu tasawuf. Tanpa ilmu tasawuf, manusia tak akan mengenal dirinya dan tanpa mengenal diri dia tak dapat mengenal Tuhan yang memberikannya kebahagiaan sejati.
Tasawuf adalah cabang ilmu yang tidak hanya menjawab pertanyaan ontologis perihal hakikat Tuhan dan kemanusiaan, lebih dari itu, tasawuf adalah ilmu agar manusia berjalan dalam menghayati hakikat kemanusiaannya; baik membentuk pemahaman pengetahuan ontologis secara akliah, maupun mengantarkan manusia untuk merasakan pemaknaan dan pembatinan konsep-konsep filosofis seperti makna hidup, menyelami relasi Tuhan-hamba dan menyampaikan pada taraf kebahagiaan.
Kebahagiaan dalam sejarah peradaban Barat telah mulai dikenali sejak jaman Plato era Yunani Kuno dan dianggap tidak wujud di era posmodernisme hanya karena ketiadaan sebuah sistem keilmuan yang memang mampu menghantarkan pada pemahaman mengenai realitas hakikat diri manusia dan hakikat hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta yang ada pada ilmu tasawuf.
Komentar
Posting Komentar