Langsung ke konten utama

Kehendak dan Kebahagiaan

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Bagi Arthur Schopenhauer, kehendak buta dan ketidaksadaran yang menentukan manusia, dunia dan sejarahnya. Baginya, akal budi manusia dikuasai oleh kehendak. Kehendak ibarat orang kuat yang buta mengangkat orang lumpuh yang dapat melihat. Manusia, dunia dan sejarah digerakkan oleh kehendak buta yang irasional tersebut. Kehendak yang tanpa alasan logis.kehendak irasional yang tak dapat benar-benar dipahami. Hidup manusia mengalami penderitaan karena kehendak yang menuntut untuk dipuaskan tak kunjung mendapat apa yang ia inginkan. Dan kehendak tidak punya tujuan akhir, ia senantiasa menghendaki. Akibatnya selalu ada penderitaan. Pemuasan satu keinginan menuntutnya untuk minta dipuaskan pada keinginan yang lain. Hal tersebut terjadi secara terus menerus hingga tidak ada kepuasan akhir. Hal inilah yang membuat Scopenhauer melihat secara pesimis hakikat kehidupan sebagai sebuah penderitaan yang tak kunjung henti. Ide tentang penderitaan juga...

Penderitaan Panjang untuk Menguasai Sebuah Ilmu

Dua ulama besar Syam: Syekh Nuruddin 'Itr dan Syekh Adnan al-Afyouni

Oleh: Ustadz Fauzan

Mahasiswa Pascasarjana Univeristas Syekh Ahmad Kufatro, Damaskus, Suriah.

Banyak orang ketika melihat seorang menguasai kitab a, b dan c, apalagi kitab besar, rasanya keren. Pengen langsung belajar. Beli kitab dan pengen langsung membaca dan mencari guru. 

Kalau ada daurah, apalagi online, semua ingin segera mendaftar, apalagi kalau gratis, tapi berapa orang yang bertahan? 2? 1? Atau seringnya tidak ada sama sekali. Pengajian sering berakhir tanpa mengkhatamkan kitab. Biasanya kitab-kitab yang berhasil diselesaikan jika forum resmi seperti yang diselenggarakan oleh kampus atau ma'had. Dan sayangnya kitab babon sekelas al-Mawaqif, al-Mustasfa, al-Kitab, al-Ihya, al-Kamil, Bahrul 'Ulum, al-Burhan, Fathul Bary, Fathul Mughis, Tuhfatul Muhtaj dst jarang diajarkan secara dirayah dalam institusi resmi, karena waktu yang terbatas dalam institusi resmi. 

Jadi jarang yang mau capek-capek menyelesaikan kitab-kitab diatas dan menderita selama bertahun-tahun di jalsah non-resmi. 

Bukannya tidak ada tapi sangat sedikit, apalagi lebih dari satu bidang, lebih sedikit lagi. Ini bukan suatu yang aneh, dan terjadi tidak hanya dalam ilmu agama. Sebagaimana seorang anak ingin menjadi dokter, bermimpi ingin lulus fakultas kedokteran, dia menganggap sepertinya keren menjadi dokter, bisa membantu banyak orang. Tapi begitu sudah lulus dan mulai belajar, penderitaan dimulai, banyak yang berfikir "kapan selesainya belajar ini?", "apa sebaiknya aku berhenti saja", dll.

Mungkin diantara motivasi yang masih membuat bertahan adalah aku sudah mengeluarkan banyak pengorbanan untuk ini. Tidak sedikit waktu dan uang yang kukorbankan, atau kalau aku tidak selesai, aku mau kerja dimana nanti? Atau yang paling keren aku harus istiqamah pada cita-cita awal, dst. Itu semua motivasi yang sangat baik. 

Hal yang sama juga terjadi dalam belajar agama. Hanya saja bedanya penghasilan dari menguasai kitab seperti al-Mawaqif apaan? Keren aja? itu gak cukup. Menyelesaikan ngaji Fathul Bari bisa buat kerja apa? Penderitaan yang dirasakan tidak sesuai dengan penghasilan. Tentu jika penghasilannya materi. Sedikit motivasi yang membuat dia harus menyelesaikan itu adalah fardhu kifayah yang harus dijalankan. Jadi mungkin materi tidak ada, tapi kewajiban agama harus ditunaikan. Dan itu nyaris tidak ada hasilnya di dunia secara materi. 

Beda dengan lulus S1, S2, atau S3,  walaupun penghasilan tidak seperti mahasiswa kedokteran tapi hasilnya secara materi bisa dilihat. Jadi pengorbanan yang wajar pun bisa dilakukan, dan penderitaannya pun tidak seperti mengaji kitab-kitab kelas babon di atas. Dan hasilnya pun baik sebagai ilmu ya tidak sampai menguasai kitab-kitab muntahin. Tapi bukan berarti tidak bermanfaat. 

Pengorbanan sekecil apapun akan mendapatkan hasil. Apalagi kuliah sampai S3, menguasai kitab menengah. Jadi secara materi bisa didapat dan ilmu bisa didapat juga. Tapi sekali lagi, bukan di level muntahin dimana pengorbanan harus lebih ekstra dan tidak ada motivasi materi sama sekali secara umum. 

Karena untuk menguasai kitab babon, modal pengen terlihat keren aja gak cukup. Butuh penderitaan, dimana motivasi untuk bertahan dari penderitaan itu gak cukup dengan "terlihat keren", apalagi gak ada perbedaan penghasilan secara materi. Jadi butuh cita-cita lain, yaitu fardhu kifayah. 

Salah satu ciri-ciri orang yang memang punya cita-cita untuk menunaikan fardhu kifayah adalah mau melakukan sesuai dengan sunnatullah, yaitu tidak terburu-buru dan sabar melewati tahapan demi tahapan sampai menuju kitab besar. Dimana dia sudah terbiasa menderita untuk melewati tahap sebelumnya. Dan ketika di level kitab babon, dia sudah terbiasa untuk bersabar. 

Jadi jika memang ingin menguasai kitab tertentu, tidak perlu mengikuti nafsu untuk segera menguasainya. Lihat niat dulu. Jika benar maka kita akan memilih mengikuti sunnatullah. Dimana semua harus dimulai pelan-pelan, insyaallah akan mencapai garis finish. Dimana kita akan menguasainya dan Allah sendiri akan memberi jalan. Baik masalah biaya, guru, waktu, dll. Disebabkan oleh niat awal yang memang karena Allah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Book Review)

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Karya bertajuk ' Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ' merupakan salah satu karya penting dalam kajian sejarah peradaban Melayu-Nusantara. Karya ini ditulis oleh ilmuwan terkemuka, Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang disampaikannya dalam pengukuhannya sebagai Professor Bahasa dan Kesusasteraan Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia tahun 1974. Dalam karya ini, Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bagaimana seharusnya penelitian dan pengkajian sejarah, khususnya terhadap sejarah dan kebudayaan dunia Melayu. Ia juga menjabarkan kekeliruan dari pendapat-pendapat ilmuwan Barat dalam menyimpulkan sejarah Melayu-Nusantara. Beliau menyampaikan bahwa sejarah seyogyanya tidak terlalu fokus pada fakta-fakta mikro yang tidak bermanfaat dalam menggambarkan proyeksi sejarah yang utuh. Kumpulan-kumpulan fakta sejarah tersebut haruslah menggambarkan pandangan alam ( worldview  atau  weltsanchauung ) dari sebuah peradaban. Dunia Melayu telah ...

Mengapa Manusia tak Bersayap?

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Menaraputih.com Machiavelli pernah berkata bahwa pemimpin harus memiliki sifat keberanian singa dan kelicikan serigala. Perpaduan kedua sifat tersebut dianggap ideal untuk dimiliki seorang pemimpin. Ketika mengumpamakan sifat-sifat hewan untuk mengandaikan sifat ideal bagi seorang pemimpin, Machiavelli sebenarnya sedang menjelaskan tentang hakikat diri manusia, terlepas ia sadari atau tidak. Ungkapan tersebut melukiskan bahwa manusia memiliki potensi sifat-sifat kebinatangan dalam dirinya. Yang membedakan manusia dengan hewan adalah: setiap jenis hewan hanya punya jenis sifat yang identik pada jenisnya; serigala memiliki sifat licik, babi identik dengan sifat tamak dan rakus, hewan-hewan predator memiliki sifat buas dan memangsa. Namun setiap hewan hanya memiliki sifatnya masing-masing. Ular tidak punya sifat singa dan singa tidak punya sifat ular. Sementara manusia mempunyai potensi untuk memiliki semua sifat-sifat yang dimiliki semua hewan. Manusia bis...

Kehendak dan Kebahagiaan

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Bagi Arthur Schopenhauer, kehendak buta dan ketidaksadaran yang menentukan manusia, dunia dan sejarahnya. Baginya, akal budi manusia dikuasai oleh kehendak. Kehendak ibarat orang kuat yang buta mengangkat orang lumpuh yang dapat melihat. Manusia, dunia dan sejarah digerakkan oleh kehendak buta yang irasional tersebut. Kehendak yang tanpa alasan logis.kehendak irasional yang tak dapat benar-benar dipahami. Hidup manusia mengalami penderitaan karena kehendak yang menuntut untuk dipuaskan tak kunjung mendapat apa yang ia inginkan. Dan kehendak tidak punya tujuan akhir, ia senantiasa menghendaki. Akibatnya selalu ada penderitaan. Pemuasan satu keinginan menuntutnya untuk minta dipuaskan pada keinginan yang lain. Hal tersebut terjadi secara terus menerus hingga tidak ada kepuasan akhir. Hal inilah yang membuat Scopenhauer melihat secara pesimis hakikat kehidupan sebagai sebuah penderitaan yang tak kunjung henti. Ide tentang penderitaan juga...