Oleh: Jabal Ali Husin Sab Bagi Arthur Schopenhauer, kehendak buta dan ketidaksadaran yang menentukan manusia, dunia dan sejarahnya. Baginya, akal budi manusia dikuasai oleh kehendak. Kehendak ibarat orang kuat yang buta mengangkat orang lumpuh yang dapat melihat. Manusia, dunia dan sejarah digerakkan oleh kehendak buta yang irasional tersebut. Kehendak yang tanpa alasan logis.kehendak irasional yang tak dapat benar-benar dipahami. Hidup manusia mengalami penderitaan karena kehendak yang menuntut untuk dipuaskan tak kunjung mendapat apa yang ia inginkan. Dan kehendak tidak punya tujuan akhir, ia senantiasa menghendaki. Akibatnya selalu ada penderitaan. Pemuasan satu keinginan menuntutnya untuk minta dipuaskan pada keinginan yang lain. Hal tersebut terjadi secara terus menerus hingga tidak ada kepuasan akhir. Hal inilah yang membuat Scopenhauer melihat secara pesimis hakikat kehidupan sebagai sebuah penderitaan yang tak kunjung henti. Ide tentang penderitaan juga...
Oleh: Ustadz Fauzan
Mahasiswa Pascasarjana Univeristas Syekh Ahmad Kufatro, Damaskus, Suriah.
Mahasiswa Pascasarjana Univeristas Syekh Ahmad Kufatro, Damaskus, Suriah.
Bagi seorang yang sudah terpengaruh mazhab filsafat modern dan segala pengembangannya yang inti ajarannya menjadikan manusia sebagai pusat kepentingan dunia, dan tenggelam pada penafsiran materialistik, maka selangkah demi selangkah mereka akan semakin dekat pada kepercayaan agnostik atau atheis.
Nah, saat mencapai tahap itu mereka kehilangan sisi spritual yang mereka butuhkan, mereka akan mencarinya dalam agama, agama apapun itu. Dan ada dua model agama yang mereka anggap sexy, karena bisa diajak kompromi dengan filsafat mereka.
Yang pertama agama yang tidak terlalu menekankan ajarannya pada Ketuhanan tapi menekankan pada perjalanan spritual seperti agama Buddha, terutama Buddha mazhab Theravada dan sebagian sekte Mahayana. Bahkan dalam sebagian mazhab Theraveda seorang atheis pun bisa menjadi Buddhis, selama dia mau menjalani 8 jalan kebenaran. Karena yang ditekankan bukan pada konsep ketuhanan tapi pada Dharma.
Ini cocok dengan jumhur (konsensus) filsafat modern dan cabang-cabangnya dimana agama dibutuhkan hanya agar manusia masih mau berbuat baik dan tidak kehilangan sisi spritual. Adapun keyakinan tentang Dewa, Tuhan, hari akhir, Nabi dll itu terserah pada fantasi dan kepercayaan masing-masing manusia. Intinya hal itu bisa memotivasi mereka untuk berbuat baikb(tentu baik-buruk versi masing-masing). Tidak ada masalah perbedaan kecil selama tidak ada keinginan membantah filsafat modern itu dalam tahap mengatur kehidupan bernegara atau sosial.
Yang kedua ajaran agama yang mau kompromi dengan pemikiran mereka (liberal). Yaitu sesuai kepentingan dan keinginan manusia itu sendiri. Mereka menerima pemikiran Islam tapi Islam liberal, Hindu tapi Hindu liberal, karena kitab sucinya harus ditafsirkan sesuai dengan paradigma mereka yaitu liberal. Atau ajaran yang memang membebaskan menafsirkan teks suci sesuai pemahaman yang diinginkan seorang manusia, seperti protestan.
Makanya filsafat "manusia zaman modern" ini bisa masuk ke agama mana saja. Selama agama itu mau mengubah bentuk sesuai dengan filsafat mereka, atau yang kedua tidak perlu mengubah tapi tidak menentang filsafat mereka. Tentu itu keyakinan yang mereka anggap benar.
Pastinya Islam tidak menerima konsep ini. Pada titik tertentu akan sangat terlihat berbeda dengan ajaran Islam, dan tentu semua masalah yang mereka yakini itu ada jawabannya dalam Islam. Bahkan ajaran para Nabi sebelum Islam.
Karena filsafat semacam itu bukan sesuatu yang baru dalam dunia Islam. Pemikiran itu sudah pernah ada dan hilang, tentu dalam baju yang lain. Islam memberi solusi lain, yaitu dibanding kompromi dengan filsafat diatas, mereka memilih membantahnya dengan argumen yang lebih kuat. Memberi solusi yang lebih baik. Yaitu menekankan pada konsep Kemutlaqan Tuhan dan penyerahan diri manusia sepenuhnya pada yang Maha Mutlaq.
Tentu ini klaim, tapi bisa dibuktikan dengan argumen. Hanya saja tidak mungkin ditulis disini. Dan ini dibuktikan dengan tren di Barat sendiri. Ada dua tren bagi orang yang menginginkan kenikmatan spritualitas: Pertama berpegang teguh pada filsafat mereka, baik mazhab meliberalkan agama atau mazhab menganut agama yang tidak mengganggu filsafat yang mereka yakini karena tidak menekankan pada aspek Ketuhanan misalnya.
Atau memilih pilihan kedua, membantah filsafat zaman modern dan segala cabangnya itu karena melihat kelemahan dan kesalahannya, lalu mereka meninggalkannya.
Kemana mereka pergi setelah itu? Mayoritas memilih Islam. Itu bukan hanya sebuah tren. Bukan kebetulan mereka memilih Islam. Sebuah agama yang memadukan antara materi dan ruhani. Rasionalitas dan spritualitas. Perbaikan pribadi dan sosial. Ilmu ghaib dan syahadah (empirik). Tuhan dan makhluk. Tentu pada akhirnya seorang akan membuktikan klam masing-masing mereka.
Sebagaimana didikan Nabi Muhammad saw. yang menekankan pada sisi spritual dan perbaikan pribadi, namun di saat yang sama bisa meruntuhkan Persia. Atau ajaran Ibnu Araby yang kaya dengan perjalanan rohani bisa membangun negara superpower Ottoman (Turki Usmani).
Komentar
Posting Komentar