Oleh: Jabal Ali Husin Sab Bagi Arthur Schopenhauer, kehendak buta dan ketidaksadaran yang menentukan manusia, dunia dan sejarahnya. Baginya, akal budi manusia dikuasai oleh kehendak. Kehendak ibarat orang kuat yang buta mengangkat orang lumpuh yang dapat melihat. Manusia, dunia dan sejarah digerakkan oleh kehendak buta yang irasional tersebut. Kehendak yang tanpa alasan logis.kehendak irasional yang tak dapat benar-benar dipahami. Hidup manusia mengalami penderitaan karena kehendak yang menuntut untuk dipuaskan tak kunjung mendapat apa yang ia inginkan. Dan kehendak tidak punya tujuan akhir, ia senantiasa menghendaki. Akibatnya selalu ada penderitaan. Pemuasan satu keinginan menuntutnya untuk minta dipuaskan pada keinginan yang lain. Hal tersebut terjadi secara terus menerus hingga tidak ada kepuasan akhir. Hal inilah yang membuat Scopenhauer melihat secara pesimis hakikat kehidupan sebagai sebuah penderitaan yang tak kunjung henti. Ide tentang penderitaan juga...
Manusia terlahir dengan fasilitas internal berupa akal, panca indera dan organ tubuh yang menyertainya. Juga rupa indah parasnya. Tidak sampai disitu, manusia disediakan fasilitas eksternal berupa segala yang wujud di alam semesta untuk dieksplorasi bagi kepentingan dirinya. Hewan dan tumbuhan untuk dimakan, tanah untuk digarap menjadi lahan pertanian dan kayu dan batu juga tanah liat untuk diolah menjadi bangunan tempat tinggal. Perut bumi berisi emas dan hasil alam lainnya untuk ia manfaatkan, juga kandungan mineral yang terkandung di dalamnya yang dapat diolah menjadi sebagai sumber energi hingga menjadi bahan bakar bagi mesin ciptaan hasil kreasi akal dan ketrampilan tangannya.
Lantas dengan segala fasilitas tersebut--internal dan eksternal--manusia lupa siapa yang memberikannya, darimana ia berasal, siapa yang menciptakan itu semua, untuk apa semua itu. Manusia melupakan Tuhan pencipta diri-Nya dan pencipta fasilitas kehidupan-Nya.
Tentu semua itu diciptakan dan diberikan hak pengelolaannya kepada manusia dengan prasyarat dan maksud tertentu. Tuhan bukan ada dan menciptakan manusia untuk kemudian melayani manusia. Kita manusia yang diciptakan untuk mengenal-Nya, patuh dan beribadah kepada-Nya. Sebagai seorang hamba yang diutamakan dari makhluk lain, ia diberikan fasilitas yang lebih unggul dari makhluk yang lain.
Lalu manusia dengan alasan kebebasan tak mau diatur, menentang aturan agama bahkan menafikan keberadaan Tuhan. Bisakah anda bayangkan seorang bayi yang anda adopsi dan rawat lalu anda beri makan dan anda asuh di rumah sampai dewasa dengan menyediakan fasilitas hidup, makan, tempat tinggal, alat belajar, sarana untuk bekerja dan lainnya, lantas menafikan jasa anda bahkan menentang aturan tinggal di rumah anda. Siapa yang tak murka? Maka dengan analogi seperti ini, kita bisa merasionalisasikan murka Allah atas hamba yang tak bersyukur, tak tahu diuntung dan tak tahu balas budi.
Jika kita bebas berkehendak atas dasar kebebasan, kita pun harus memerhatikan kebebasan orang lain. Kita bebas hanya terhadap benda yang kita miliki, bukan benda milik orang lain. Kita bebas berbuat apa saja hanya di rumah milik sendiri bukan milik orang lain. Lalu, apakah yang benar-benar menjadi milik kita di dunia ini? Apakah ada satu saja hal yang benar-benar kita ciptakan dari ketiadaan? Apabila kita membuat rumah, kendaraan, perkakas maupun mesin bahkan teknologi canggih sekalipun, semua bahan bakunya tak kita ciptakan sendiri melainkan berasal dari apa yang telah diciptakan Tuhan.
Lalu apakah kita bebas untuk berbuat atas sesuatu yang tak sepenuhnya kita miliki? Bahkan organ tubuh yang memiliki ketrampilan, akal yang mempunyai daya imaginasi dan kreasi serta indera yang memiliki daya persepsi adalah modal internal yang keberadaannya di-ada-kan oleh Tuhan. Dengan analogi kepemilikan seperti di atas, kita dapat memahami bahwa kita tidak berhak untuk benar-benar bebas.
Laksana seorang buruh di perkebunan anggur milik sorang tuan tanah, ia diberi fasilitas untuk tinggal di sebuah gubuk yang terdapat di dalam area kebun tersebut. Dia diberi fasilitas tinggal, makanan dan upah secukupnya. Ia diberi hak untuk tinggal di kebun tersebut bersamaan dengan kewajiban untuk mengelola kebun tersebut agar tanaman anggur yang ditanam tumbuh subur dan berbuah pada musim panen. Ia wajib memupuki lahan anggur, menyiraminya dengan air dan membersihkan ilalang dan tumbuhan hama lainnya. Ia diberikan fasilitas atas dasar tanggungjawab mengelola kebun tersebut dengan baik. Apabila tanaman terurus dengan baik, serta hasil panen memuaskan sang tuan tanah berkat kerjanya yang profesional dan bertanggungjawab, maka sang pemilik kebun akan senang dengannya dan memberikan balasan atas kerjanya. Bahkan memberikan bagiannya dari hasil panen yang didapatkan. Sementara bila ia sembrono, tidak bertanggungjawab dengan pekerjaanya bahkan menyalahgunakan tanggungjawab yang diberikan padanya, misalnya dengan menjual diam-diam hasil panen anggur tanpa izin pemiliknya, maka siap-siap ia akan menerima murka dari si pemilik kebun. Ia bisa dipecat dan kehilangan pekerjaan bahkan tempat tinggalnya.
Analogi buruh dan pemilik kebun anggur sepertinya cocok untuk menggambarkan hubungan Tuhan dan manusia, dimana Tuhan menyediakan alam semesta untuk dikelola agar memudahkan tanggungjawab yang dibebankan kepada manusia sebagai hamba. Apakah seseorang akan membela ide kebebasan dari seorang yang memberontak yang tidak mau bekerja pada pemilik perusahaan sementara ia mengambil gajinya dan menyalahgunakan fasilitas kantor tersebut sesuka hatinya, seolah apa yang ada di kantor tersebut adalah miliknya sendiri?Tentu tidak akan ada orang yang membela kebebasan semacam ini. Bahkan jika pemilik perusahaan lain tahu ada orang yang berlaku demikian, ia tidak akan menerima calon karyawan semacam ini.
Analogi di atas merasionalisasikan kita tetang ide kebebasan mutlak manusia yang coba mengingkari Tuhan, melawan aturan agama dan mengingkari kepemilikan Tuhan atas dirinya dan semua yang ada di alam ini. Manusia hanya berhak bebas atas sesuatu yang menjadi miliknya sendiri. Sementara tidak ada satu pun yang ada di alam semesta ini melainkan ciptaan Tuhan. Selama ia masih menerima argumen penciptaan Tuhan atas segala yang wujud, maka secara logis ia tak punya kebebasan mutlak atas dirinya dan segala sesuatu. Manusia diciptakan dengan tujuan dan maksud tertentu, segala fasilitas yang diberikan untuk memudahkan kehidupannya dengan kebebasan mengelolanya dengan syarat dan tanggungjawab yang akan dituntut di hadapan Tuhan di mahkamah akhirat.
Murka Tuhan bukan karena kekejaman-Nya, melainkan karena pengingkaran manusia atas sifat kasih sayang-Nya. Atas penghinaan manusia kepada Tuhan dan pengingkaran manusia yang tak tahu berterima kasih atas segala nikmat yang diberikan kepadanya yang seharusnya disertai tanggungjawab sesuai dengan aturan Sang Maha Pemberi.
makasih sharingnya
BalasHapus