Oleh: Akhsanul Khalis
Dosen di STIA Iskandar Thani
Kegenitan intelektual rasa ala Barat di kalangan umat Muslim menjadi pemandangan biasa di ranah sosial saat ini. Kadar intelektualitas dianggap paling maju apabila menggunakan kacamata Barat. Intelektualisme Barat terasa bisa mewakili nilai kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Perspektif Barat dijadikan keabsolutan pengetahuan untuk mencapai kebenaran, terkadang cendikiawan Muslim saat ini bangga dengan "sesuatu" dari Barat bahkan berani mengkritisi kodifikasi tauhid dan fiqih yang telah diletakkan secara metodologis oleh ulama.
Mereka protes dengan keadaan di daerahnya yang masih menjaga nilai-nilai keagamaan dan kearifan misalkan: Perempuan berjilbab dianggap sebagai bentuk pemaksaan oleh pemuka agama. Perempuan berjilbab bentuk pembatasan hak pada perempuan. Selain itu, tidak segan juga mereka mengkritik tradisi takzim kepada guru, takzim bagi mereka tidak lebih sebagai ketimpangan relasi. Konsep keadilan dalam Islam cenderung diskriminatif bagi kelompok minoritas.
Jalan Panjang Kolonialisasi
Lahirnya sekularisme di kalangan intelektualisme Muslim bukan tanpa dasar. Ancaman dunia Barat terhadap keagamaan terutama nilai Islam bukanlah pekerjaan hari ini saja, pertentangan nilai Barat terhadap Islam sudah terjadi sejak berabad silam.
Kemudian sejak kemunculan tesis Samuel Huntington “clash of civilization”, dimana dia berpendapat umat Islam sebagai musuh paling signifikan bagi dunia Barat paska perang dingin. Dunia Barat semakin agresif melakukan tindakannya, berbagai cara dilakukan untuk meruntuhkan kekuatan keyakinan umat Muslim.
Selain penggunaan militer, proyek Barat paling masif dilakukan untuk menghancurkan Islam adalah pendidikan, invasi Barat terhadap negara-negara komunitas muslim selain mengeruk sumber daya alam juga membawa misi penghancuran aqidah Islam.
Sosiolog agama Ernest Gelner mengatakan: saat ini (era modern) hanya Islam sebagai agama yang mempunyai doktrin paling kuat atas keyakinan teologisnya dibandingkan agama-agama lain. Dari perkataan Ernest Gelner bisa dijadikan indikator, Islam masih belum mampu ditaklukan seutuhnya oleh dominasi Barat. Nilai Islam sering kali menjadi pembeda (distingsi) lawan tanding paling keras bagi intelektual yang berkiblat ke Barat.
Edward Said (Orientalisme, 1978) menyatakan kekuasaan kolonial tidak berhenti begitu saja dan akan terus berkembang dalam bentuk (diskursus) berbeda-beda kendati bangsa-bangsa terjajah telah memperoleh kemerdekaan.
Diskursus pendidikan merupakan ranah paling rentan menjadi inkubator pemikiran Barat. Hari ini umat Islam terperosok ke dalam agenda setting alam pikiran manusia Barat. Naifnya banyak sarjana di kalangan umat Islam dengan lugu mengikuti hegemoni mainstream dan mengadopsi secara mentah-mentah jalan pikiran barat.
Raewyn Connell dalam bukunya yang berjudul The Southern Theory, dia menjelaskan praktek dari pemikiran Barat sering kali tidak memberikan keuntungan bagi dunia Timur. Ini menandakan di saat pemaksaan alam pikiran Barat khususnya terhadap alam pikiran Islam tidak akan pernah menemukan titik temu, penulis Barat berpikir berdasarkan pengalaman empiris "Barat".
Residu paling terasa dari proyek jangka panjang kolonialisme khususnya di komunitas Muslim adalah timbulnya perasaan inferior dalam menginterpretasi dan menggambarkan ajarannya ketika dilakukan komparasi dengan hasil pengalaman Barat.
Ini sesuai dengan konsep hegemoni yang diperkenalkan oleh Antonio Gramsci "ketika membicarakan kelompok inferior yang terhegemoni oleh kekuasaan arus utama". Lebih terangnya lagi seperti ucapan Ibnu Khaldun "negara kalah akan mengikuti negara menang".
Proses labelisasi terhadap dunia Timur khususnya Muslim dengan stereotip-stereotip negatif cukup memberikan andil besar dalam proses hegemoni pemikiran, akan selalu ada pemosisian untuk dikontruksi sebuah indentitas yang melibatkan relasi-relasi antara dominan dengan yang terdominasi.
Kritis Melihat Barat
Agar keluar dari dominasi Barat, umat Islam harus cerdas dalam menginterpretasi teks pemikiran "Barat" dan sekaligus jernih menjembatani dengan definisi interpretasi Islam itu sendiri. Setiap pemikiran tidaklah berdiri sendiri dan sunyi dari subjektifitas, bila ada yang mengatakan kita harus objektif, rasanya itu sangat bias dan semacam talbis (tipuan).
Padahal hubungan sebuah identitas itu tidak pernah bersifat netral, tetap ada yang namanya kata 'kami' dan 'mereka' sebagai sebuah aspek inklusif dan eksklusif terhadap satu sama lain.
Merujuk pada pandangan Bourdieu tentang inklusivitas dan eksklusivitas, baginya itu merupakan proses habituasi. Kedua sifat itu merupakan pengalaman sehari-hari yang sering dijabarkan dalam aturan-aturan. Jika dihubungkan relasi pengalaman Barat dengan dunia Timur khususnya Islam, proses habitus sangat berbeda.
Sehingga mustahil mengabaikan nilai partikular: situasi sosial, kultural dan historis kehidupan. Penerapan nilai universal Barat melalui pendidikan ke dunia Islam dipastikan akan saling berbenturan. Karena setiap peradaban mempunyai perspektif masing-masing.
Mempelajari perspektif Barat bukan berarti harus menjadi ‘Barat’. Syed Naquib al Attas bisa dikatakan sosok yang paling tepat sebagai contoh, meskipun belajar di dunia Barat tetapi tidak terpengaruh cara berpikir Barat. Bahkan Al Attas melampuai Barat itu sendiri.
Al Attas mengkritik pemikiran Barat dengan sangat mengangumkan. Menurut Al Attas dalam bukunya Islam dan Sekularisme (2010): sejarah peradaban Barat berangsur-angsur membuat kehidupannya terpisah dari makna spritualitas. Alam hanya berupa ‘benda’ tanpa makna kudus.
Perlu kita yakini pengetahuan Barat belum seberapa dibandingkan dengan peradaban ilmu pengetahuan Islam yang sudah ada 1400 tahun lalu, ulama-ulama Islam sudah banyak melahirkan jutaan manuskrip hanya untuk membedah hal-hal metafisik.
Ketika ada intelektual dari kalangan umat Islam yang merasa mentalnya anjlok karena takut dianggap tidak progresif karena berbicara perspektif Islam. Mungkin kembali lagi persoalan, kegenitan intelektual sok kebarat-baratan tidak lebih hanya problem residu kolonialisme yang belum hilang dibandingkan sebab untuk dikatakan lebih cerdas.
Komentar
Posting Komentar