Langsung ke konten utama

Kehendak dan Kebahagiaan

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Bagi Arthur Schopenhauer, kehendak buta dan ketidaksadaran yang menentukan manusia, dunia dan sejarahnya. Baginya, akal budi manusia dikuasai oleh kehendak. Kehendak ibarat orang kuat yang buta mengangkat orang lumpuh yang dapat melihat. Manusia, dunia dan sejarah digerakkan oleh kehendak buta yang irasional tersebut. Kehendak yang tanpa alasan logis.kehendak irasional yang tak dapat benar-benar dipahami. Hidup manusia mengalami penderitaan karena kehendak yang menuntut untuk dipuaskan tak kunjung mendapat apa yang ia inginkan. Dan kehendak tidak punya tujuan akhir, ia senantiasa menghendaki. Akibatnya selalu ada penderitaan. Pemuasan satu keinginan menuntutnya untuk minta dipuaskan pada keinginan yang lain. Hal tersebut terjadi secara terus menerus hingga tidak ada kepuasan akhir. Hal inilah yang membuat Scopenhauer melihat secara pesimis hakikat kehidupan sebagai sebuah penderitaan yang tak kunjung henti. Ide tentang penderitaan juga...

Kebangkitan Aceh Darussalam dan Permusuhan Portugis terhadap Dunia Islam

 

Serangan Armada Aceh Darussalam melawan Portugis di Malaka

Oleh: Jabal Ali Husin Sab

Pada dekade akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, Portugis gencar melakukan ekspansi khususnya ke dunia Islam. Hal ini domotori kekuatan armada laut yang dimiliki Potugis. Amirul Hadi (Aceh and the Portugese: A Study of the Struggle of Islam in Southeast Asia: 1500-1579, 1992)  mengutip Lach meyatakan bahwa semangat perang salib mendominasi Portugis dalam memerangi wilayah Islam di Timur, Pangeran Henri menisbahkan dirinya sebagai pelayan bagi Kekristenan; “apostolistic administrator of the order of Christ”. Portugis kala itu membawa sebuah semangat yang melatarbelakangi kebijakan sosial dan keagamaannya yang disebut dengan Parado: perang tanpa belas kasih melawan Muslim dan persahabatan dan toleransi kepada non-Kristen.

Pada tahun 1500 Portugis membentuk sebuah komite bernama Cabral yang bertujuan memberikan informasi kepada penguasa Calicut, India untuk menyebarkan permusuhan Portugis terhadap umat Muslim. Komite ini menyampaikan ultimatum kepada umat Muslim bahwa mereka akan menghancurkan kapal-kapal dan merampas harta benda apabila umat muslim di wilayah ini tidak bersedia untuk memeluk agama Kristen.

Portugis pada tahun 1505 menaklukkan Sacotra di Selatan Aden dan Hormuz (1507) yang menjadi kota pelabuhan penting di wilayah Persia. Beberapa pos-pos penting yang dikuasai di Lautan Hindia diantaranya Cuetta dan Goa di pantai barat India. Pada tahun 1511, Portugis menguasai Malaka. Portugis sengaja menyerang ke wilayah-wilayah yang telah lama menjadi wilayah perdagangan dan menyerang kapal-kapal pedagang muslim. Wilayah perdagangan Asia Tenggara yang menjadi incaran Portugis terkenal karena hasil alamnya berupa lada, sutra, kapur barus (camphor), benzoin dan emas.

Schrieke melihat hubungan dikuasainya Malaka dengan bangkitnya Aceh sebagai sebuah wilayah perdagangan penting di Asia Tenggara menggantikan Malaka. Ia beranggapan bahwa pedagang muslim di Malaka pindah ke Aceh kala itu. Penguasaan Malaka oleh Portugis juga mengakibatkan pindahnya jalur perdagangan rempah-rempah ke Aceh.

Dasgupta dalam disertasi berjudul Aceh, Trade and Politics (1962) beranggapan bahwa memang ada keterkaitan bangkitnya Aceh dengan dikuasainya Portugis oleh Malaka, namun dampaknya tidaklah langsung. Berdasarkan keterangan Tome Pires, wilayah yang pertama kali diuntungkan oleh takluknya Malaka adalah Pasai. Sebelum kemunculan Aceh, Pedir dan Pasai merupakan dua wilayah yang lebih dominan dalam perdagangan di ujung utara Sumatera. Kemudian, Pedir terlibat peperangan dengan tetangganya dan setelah itu Pasai pun terlibat peperangan dengan Portugis yang mengakibatkan gelombang eksodus ke Aceh.

Meski tidak meragukan takluknya Malaka kepada Portugis sebagai faktor eksternal kebangkitan Aceh, namun menurut Dasgupta, faktor internal dimana Aceh berada pada tahap awal kebangkitannya berkat hasil upaya Sultan Aceh yang membawa Aceh ke arah kebangkitannya. Respon khas yang dilakukan Aceh terhadap situasi genting yang terjadi di Selat Malaka menurut Dasgupta, hanya dapat dipahami dari aspek komponen internal yang menjadi faktor kebangkitan Aceh.

Unifikasi dan Ekspansi Aceh

Peristiwa yang terjadi di Aceh saat itu adalah unifikasi; bersatunya kerajaan-kerajaan ke dalam Aceh Darussalam oleh Sultan Shamsu Shah pada akhir abad ke-15. H. Amirul Hadi mengungkapkan bahwa Pedir dan Pasai terkesan memiliki hubungan baik dengan Portugis, sementara Aceh tidak mau berkompromi dengan Portugis. Pada tahun 1520, ekspansi Kerajaan Aceh dimulai. Aceh menaklukkan semua pos-pos Portugis yang ada di Daya (1520), kemudian Pedir (1521) dan Pasai (1524). Wilayah-wilayah tersebut tergabung ke dalam Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan ‘Ali Mughayat Syah (1571-1579).

Aceh semakin berkembang ketika pedagang muslim mengupayakan perlindungan dari kerajaan Aceh untuk menghindari Portugis sebagai satu-satunya pilihan di wilayah Selat Malaka. Penaklukan Pedir dan Pasai oleh Aceh juga memberikan Aceh keuntungan aset ekonomi yang berada di dua wilayah tersebut.

Hijrahnya muslim dari Malaka ke Aceh bukan saja membuat Aceh berkembang dalam bidang perdagangan namun yang paling utama adalah kemajuan yang diraih dalam bidang keilmuan agama. Banyak diantara yang hijrah adalah para alim ulama dan pengajar yang sebelumnya tinggal di Malaka.

Penyerangan terhadap Malaka dimulai sejak masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah. Beliau wafat pada tahun 1530 di saat Aceh telah menjadi sebuah kerajaan yang kuat dan makmur. Ia digantikan oleh Sultan Alauddin Ri‘ayat Syah al-Qahhar (1537-1571) yang berhasil memperkuat kekuatan militer Aceh. Raja Aru yang kala itu terlibat peperangan dengan Aceh dan berupaya mencari perlindungan kepada Portugis menyampaikan kepada penjelajah Portugis, Mendez Pinto, bahwa faktor dibalik kekuatan militer Aceh adalah banyaknya cadangan emas yang dimiliki Aceh. Hal ini memungkinkan Sultan untuk menyewa pelatih kemiliteran dari luar negeri secara berkesinambungan. Pada saat itu Aceh sedang menikmati hasil perdagangan yang melimpah-ruah sehingga mampu membiayai ekspedisi militernya. Pinto yang mengaku melihat pasukan Aceh berujar bahwa di dalam pasukan militer Aceh terdapat tentara asing yang berasal dari Turki, Cambay, Malabar dan Abyssinia (Habashi/Ethiopia).

Faktor yang mendukung kekuatan Aceh kala itu adalah dibangunnya koneksi internasional oleh Sultan dengan kekuatan Islam di Timur Tengah. Melalui mediasi Pasha di Kairo (wakil pemerintahan Utsmaniyah di Mesir), kesepakatan dengan Turki dicapai. Hasilnya Aceh mendapat bantuan pasukan dari Turki. Sebagai imbalan, Turki berhak membangun pabrik/kantor dagang di Pasai.

Dari dokumen Turki diketahui bahwa pada tahun 1563 Sultan Aceh mengirim utusan ke Istanbul meminta bantuan untuk melawan Portugis di Malaka. Utusan tersebut berhasil mencapai tujuannya setelah menunggu selama dua tahun dan akhirnya dua kapal berisi muatan dan para ahli teknik dikirim ke Aceh. Ini yang kemudian kita kenal dengan kisah meriam Lada Sicupak.

Ekspansi militer besar-besaran dilancarkan oleh Aceh masa pemerintahan Sultan ‘Alauddin Ri‘ayat Syah ke seluruh wilayah yang berbatasan. Beliau menguasai Aceh, Barus, Pedir, Pasai, Daya, hingga Minangkabau. Tahun 1539 Aceh berperang dengan Batak dan menaklukkan Aru. Johor mencoba merebut Aru dari Aceh namun pada tahun 1564 Aceh kembali menaklukkan Aru dan pada tahun yang sama menguasai Johor dengan menawan Raja Johor untuk dibawa ke Aceh. Johor tampil sebagai sebuah kekuatan yang menghadang misi Aceh dan aliansi untuk menaklukkan Malaka dengan berada di pihak Portugis.

Aceh menyerang Malaka pada tahun 1537, 1547 dan 1568 dengan kekuatan besar. Serangan terakhir melibatkan 15.000 tentara Aceh dan 400 tentara Turki dengan 200 buah artireli. Pada masa itu Jawa, Tamil, Johor dan Kedah berada pada pihak Portugis.

Schrieke mengungkapkan bahwa ekspansi militer yang dilakukan Aceh disebabkan oleh keinginan Aceh untuk mengontrol pelabuhan-pelabuhan lada di Timur dan Barat Sumatera. Bagi Dasgupta, hal tersebut merupakan faktor penting, namun baginya faktor agama dalam ekspedisi tersebut tidak boleh dikesampingkan. Pada saat itu Sultan mengobarkan semangat jihad yang menjadi faktor pendorong bagi para prajurit yang terlibat. Portugis di Malaka dianggap sebagai musuh utama dunia Islam kala itu.

Menurut penulis, sebagaimana Portugis yang selain dimotori oleh motif perdagangan juga dimotori oleh semangat perang salib memerangi Islam, hal ini disadari oleh Aceh yang akhirnya mengobarkan semangat jihad melawan Portugis. Jihad melawan Portugis mengharuskan Aceh untuk menaklukkan beberapa kerajaan Sumatera dan Semenanjung Melayu karena beberapa kerajaan tersebut bekerjasama dengan Portugis. Kesadaran akan perjuangan global dan ekspansi Portugis melawan Islam membuat Aceh menghimpun kekuatan guna memerangi Portugis.

Meski pada waktu itu semangat jihad dikobarkan melawan Portugis, ini bukan berarti sepenuhnya Aceh dan pemimpin wilayah Islam lain di alam Melayu menganggap semua negara Eropa adalah musuh dan layak diperangi. Pada saat itu Aceh memiliki hubungan baik dengan Inggris dan Belanda. Aceh bahkan mengirim utusan ke Belanda dan mengirim surat kepada Raja James di Inggris. Kebijakan Kerajaan Portugis yang bermaksud memerangi semua wilayah Islam yang dibuktikan dengan misinya di Samudera Hindia dan Selat Malaka ini yang dianggap berbahaya sehingga menimbulkan kewaspadaan Aceh hingga terlibat dalam memerangi Portugis di Melaka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Book Review)

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Karya bertajuk ' Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ' merupakan salah satu karya penting dalam kajian sejarah peradaban Melayu-Nusantara. Karya ini ditulis oleh ilmuwan terkemuka, Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang disampaikannya dalam pengukuhannya sebagai Professor Bahasa dan Kesusasteraan Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia tahun 1974. Dalam karya ini, Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bagaimana seharusnya penelitian dan pengkajian sejarah, khususnya terhadap sejarah dan kebudayaan dunia Melayu. Ia juga menjabarkan kekeliruan dari pendapat-pendapat ilmuwan Barat dalam menyimpulkan sejarah Melayu-Nusantara. Beliau menyampaikan bahwa sejarah seyogyanya tidak terlalu fokus pada fakta-fakta mikro yang tidak bermanfaat dalam menggambarkan proyeksi sejarah yang utuh. Kumpulan-kumpulan fakta sejarah tersebut haruslah menggambarkan pandangan alam ( worldview  atau  weltsanchauung ) dari sebuah peradaban. Dunia Melayu telah ...

Pertemuan UAS dan Caknun: Bertemunya dua arus kebudayaan; Islam Melayu dan Islam Jawa

Dua orang cerdik-pandai dari dua arus kebudayaan besar Nusantara bertemu. Pembicaraan dua tokoh ini pastinya menghasilkan dialog silang kebudayaan yang amat menarik. Pertemuan UAS dan Caknun bukan hanya soal kebudayaan, lebih dari itu, adalah perkara kebangsaan.  Kita berharap, sekat-sekat etnisitas dan rasialisme yang bertendensi negatif dan mengarah pada prejudisme antar wilayah dan etnis bisa mencair bahkan lenyap di Indonesia. Ini adalah perkara penting dalam pembentukan nation-building Indonesia yang belum sepenuhnya selesai.  Pertemuan ini mewakili bagian dari cita-cita bangsa Indonesia sejak visi imaginer tentang bangsa Indonesia dirumuskan para bapak pendiri bangsa di era pergerakan kemerdekaan. Visi sebuah bangsa yang satu, menyatukan sekat perbedaan ras dan etnis. Keragamaan etnis yang memperkaya kesatuan sebuah entitas kebangsaan yang diandaikan kala itu, Bangsa Indonesia. Dirajut dalam semboyan: Bhineka Tunggal Ika. Indonesia pernah dan masih mengalami ...