Serangan Armada Aceh Darussalam melawan Portugis di Malaka |
Oleh: Jabal Ali Husin Sab
Pada dekade akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16,
Portugis gencar melakukan ekspansi khususnya ke dunia Islam. Hal ini domotori
kekuatan armada laut yang dimiliki Potugis. Amirul Hadi (Aceh and the Portugese: A Study of the Struggle of Islam in Southeast
Asia: 1500-1579, 1992) mengutip Lach
meyatakan bahwa semangat perang salib mendominasi Portugis dalam memerangi
wilayah Islam di Timur, Pangeran Henri menisbahkan dirinya sebagai pelayan bagi
Kekristenan; “apostolistic administrator
of the order of Christ”. Portugis kala itu membawa sebuah semangat yang
melatarbelakangi kebijakan sosial dan keagamaannya yang disebut dengan Parado:
perang tanpa belas kasih melawan Muslim dan persahabatan dan toleransi kepada
non-Kristen.
Pada tahun 1500 Portugis membentuk sebuah komite
bernama Cabral yang bertujuan memberikan informasi kepada penguasa Calicut,
India untuk menyebarkan permusuhan Portugis terhadap umat Muslim. Komite ini
menyampaikan ultimatum kepada umat Muslim bahwa mereka akan menghancurkan
kapal-kapal dan merampas harta benda apabila umat muslim di wilayah ini tidak
bersedia untuk memeluk agama Kristen.
Portugis pada tahun 1505 menaklukkan Sacotra di
Selatan Aden dan Hormuz (1507) yang menjadi kota pelabuhan penting di wilayah
Persia. Beberapa pos-pos penting yang dikuasai di Lautan Hindia diantaranya
Cuetta dan Goa di pantai barat India. Pada tahun 1511, Portugis menguasai
Malaka. Portugis sengaja menyerang ke wilayah-wilayah yang telah lama menjadi
wilayah perdagangan dan menyerang kapal-kapal pedagang muslim. Wilayah
perdagangan Asia Tenggara yang menjadi incaran Portugis terkenal karena hasil
alamnya berupa lada, sutra, kapur barus (camphor), benzoin dan emas.
Schrieke melihat hubungan dikuasainya Malaka dengan
bangkitnya Aceh sebagai sebuah wilayah perdagangan penting di Asia Tenggara
menggantikan Malaka. Ia beranggapan bahwa pedagang muslim di Malaka pindah ke
Aceh kala itu. Penguasaan Malaka oleh Portugis juga mengakibatkan pindahnya
jalur perdagangan rempah-rempah ke Aceh.
Dasgupta dalam disertasi berjudul Aceh, Trade and
Politics (1962) beranggapan bahwa memang ada keterkaitan bangkitnya Aceh dengan
dikuasainya Portugis oleh Malaka, namun dampaknya tidaklah langsung.
Berdasarkan keterangan Tome Pires, wilayah yang pertama kali diuntungkan oleh
takluknya Malaka adalah Pasai. Sebelum kemunculan Aceh, Pedir dan Pasai
merupakan dua wilayah yang lebih dominan dalam perdagangan di ujung utara
Sumatera. Kemudian, Pedir terlibat peperangan dengan tetangganya dan setelah
itu Pasai pun terlibat peperangan dengan Portugis yang mengakibatkan gelombang
eksodus ke Aceh.
Meski tidak meragukan takluknya Malaka kepada
Portugis sebagai faktor eksternal kebangkitan Aceh, namun menurut Dasgupta,
faktor internal dimana Aceh berada pada tahap awal kebangkitannya berkat hasil
upaya Sultan Aceh yang membawa Aceh ke arah kebangkitannya. Respon khas yang
dilakukan Aceh terhadap situasi genting yang terjadi di Selat Malaka menurut
Dasgupta, hanya dapat dipahami dari aspek komponen internal yang menjadi faktor
kebangkitan Aceh.
Unifikasi
dan Ekspansi Aceh
Peristiwa yang terjadi di Aceh saat itu adalah
unifikasi; bersatunya kerajaan-kerajaan ke dalam Aceh Darussalam oleh Sultan
Shamsu Shah pada akhir abad ke-15. H. Amirul Hadi mengungkapkan bahwa Pedir dan
Pasai terkesan memiliki hubungan baik dengan Portugis, sementara Aceh tidak mau
berkompromi dengan Portugis. Pada tahun 1520, ekspansi Kerajaan Aceh dimulai.
Aceh menaklukkan semua pos-pos Portugis yang ada di Daya (1520), kemudian Pedir
(1521) dan Pasai (1524). Wilayah-wilayah tersebut tergabung ke dalam Aceh Darussalam
di bawah pemerintahan Sultan ‘Ali Mughayat Syah (1571-1579).
Aceh semakin berkembang ketika pedagang muslim
mengupayakan perlindungan dari kerajaan Aceh untuk menghindari Portugis sebagai
satu-satunya pilihan di wilayah Selat Malaka. Penaklukan Pedir dan Pasai oleh
Aceh juga memberikan Aceh keuntungan aset ekonomi yang berada di dua wilayah
tersebut.
Hijrahnya muslim dari Malaka ke Aceh bukan saja
membuat Aceh berkembang dalam bidang perdagangan namun yang paling utama adalah
kemajuan yang diraih dalam bidang keilmuan agama. Banyak diantara yang hijrah
adalah para alim ulama dan pengajar yang sebelumnya tinggal di Malaka.
Penyerangan terhadap Malaka dimulai sejak masa
pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah. Beliau wafat pada tahun 1530 di saat
Aceh telah menjadi sebuah kerajaan yang kuat dan makmur. Ia digantikan oleh
Sultan Alauddin Ri‘ayat Syah al-Qahhar (1537-1571) yang berhasil memperkuat
kekuatan militer Aceh. Raja Aru yang kala itu terlibat peperangan dengan Aceh
dan berupaya mencari perlindungan kepada Portugis menyampaikan kepada
penjelajah Portugis, Mendez Pinto, bahwa faktor dibalik kekuatan militer Aceh
adalah banyaknya cadangan emas yang dimiliki Aceh. Hal ini memungkinkan Sultan
untuk menyewa pelatih kemiliteran dari luar negeri secara berkesinambungan.
Pada saat itu Aceh sedang menikmati hasil perdagangan yang melimpah-ruah
sehingga mampu membiayai ekspedisi militernya. Pinto yang mengaku melihat
pasukan Aceh berujar bahwa di dalam pasukan militer Aceh terdapat tentara asing
yang berasal dari Turki, Cambay, Malabar dan Abyssinia (Habashi/Ethiopia).
Faktor yang mendukung kekuatan Aceh kala itu adalah
dibangunnya koneksi internasional oleh Sultan dengan kekuatan Islam di Timur
Tengah. Melalui mediasi Pasha di Kairo (wakil pemerintahan Utsmaniyah di
Mesir), kesepakatan dengan Turki dicapai. Hasilnya Aceh mendapat bantuan
pasukan dari Turki. Sebagai imbalan, Turki berhak membangun pabrik/kantor
dagang di Pasai.
Dari dokumen Turki diketahui bahwa pada tahun 1563
Sultan Aceh mengirim utusan ke Istanbul meminta bantuan untuk melawan Portugis
di Malaka. Utusan tersebut berhasil mencapai tujuannya setelah menunggu selama
dua tahun dan akhirnya dua kapal berisi muatan dan para ahli teknik dikirim ke
Aceh. Ini yang kemudian kita kenal dengan kisah meriam Lada Sicupak.
Ekspansi militer besar-besaran dilancarkan oleh Aceh
masa pemerintahan Sultan ‘Alauddin Ri‘ayat Syah ke seluruh wilayah yang
berbatasan. Beliau menguasai Aceh, Barus, Pedir, Pasai, Daya, hingga
Minangkabau. Tahun 1539 Aceh berperang dengan Batak dan menaklukkan Aru. Johor
mencoba merebut Aru dari Aceh namun pada tahun 1564 Aceh kembali menaklukkan
Aru dan pada tahun yang sama menguasai Johor dengan menawan Raja Johor untuk
dibawa ke Aceh. Johor tampil sebagai sebuah kekuatan yang menghadang misi Aceh
dan aliansi untuk menaklukkan Malaka dengan berada di pihak Portugis.
Aceh menyerang Malaka pada tahun 1537, 1547 dan 1568
dengan kekuatan besar. Serangan terakhir melibatkan 15.000 tentara Aceh dan 400
tentara Turki dengan 200 buah artireli. Pada masa itu Jawa, Tamil, Johor dan
Kedah berada pada pihak Portugis.
Schrieke mengungkapkan bahwa ekspansi militer yang
dilakukan Aceh disebabkan oleh keinginan Aceh untuk mengontrol
pelabuhan-pelabuhan lada di Timur dan Barat Sumatera. Bagi Dasgupta, hal
tersebut merupakan faktor penting, namun baginya faktor agama dalam ekspedisi
tersebut tidak boleh dikesampingkan. Pada saat itu Sultan mengobarkan semangat
jihad yang menjadi faktor pendorong bagi para prajurit yang terlibat. Portugis
di Malaka dianggap sebagai musuh utama dunia Islam kala itu.
Menurut penulis, sebagaimana Portugis yang selain
dimotori oleh motif perdagangan juga dimotori oleh semangat perang salib
memerangi Islam, hal ini disadari oleh Aceh yang akhirnya mengobarkan semangat
jihad melawan Portugis. Jihad melawan Portugis mengharuskan Aceh untuk
menaklukkan beberapa kerajaan Sumatera dan Semenanjung Melayu karena beberapa
kerajaan tersebut bekerjasama dengan Portugis. Kesadaran akan perjuangan global
dan ekspansi Portugis melawan Islam membuat Aceh menghimpun kekuatan guna
memerangi Portugis.
Meski pada waktu itu semangat jihad dikobarkan
melawan Portugis, ini bukan berarti sepenuhnya Aceh dan pemimpin wilayah Islam
lain di alam Melayu menganggap semua negara Eropa adalah musuh dan layak
diperangi. Pada saat itu Aceh memiliki hubungan baik dengan Inggris dan
Belanda. Aceh bahkan mengirim utusan ke Belanda dan mengirim surat kepada Raja
James di Inggris. Kebijakan Kerajaan Portugis yang bermaksud memerangi semua
wilayah Islam yang dibuktikan dengan misinya di Samudera Hindia dan Selat
Malaka ini yang dianggap berbahaya sehingga menimbulkan kewaspadaan Aceh hingga
terlibat dalam memerangi Portugis di Melaka.
Komentar
Posting Komentar