Langsung ke konten utama

Kehendak dan Kebahagiaan

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Bagi Arthur Schopenhauer, kehendak buta dan ketidaksadaran yang menentukan manusia, dunia dan sejarahnya. Baginya, akal budi manusia dikuasai oleh kehendak. Kehendak ibarat orang kuat yang buta mengangkat orang lumpuh yang dapat melihat. Manusia, dunia dan sejarah digerakkan oleh kehendak buta yang irasional tersebut. Kehendak yang tanpa alasan logis.kehendak irasional yang tak dapat benar-benar dipahami. Hidup manusia mengalami penderitaan karena kehendak yang menuntut untuk dipuaskan tak kunjung mendapat apa yang ia inginkan. Dan kehendak tidak punya tujuan akhir, ia senantiasa menghendaki. Akibatnya selalu ada penderitaan. Pemuasan satu keinginan menuntutnya untuk minta dipuaskan pada keinginan yang lain. Hal tersebut terjadi secara terus menerus hingga tidak ada kepuasan akhir. Hal inilah yang membuat Scopenhauer melihat secara pesimis hakikat kehidupan sebagai sebuah penderitaan yang tak kunjung henti. Ide tentang penderitaan juga...

Renungan Kemerdekaan: Islam di Indonesia


Oleh: Jabal Ali Husin Sab

Kita tidak akan merasakan makna kemerdekaan melebihi mereka yang pernah merasakan penjajahan dan penderitaan. Salah satu luka penjajahan yang kesannya berdampak hingga masa kemerdekan, juga negara-negara bekas koloni di dunia ketiga, adalah luka intelektual. 

Dimana kita dihadapkan dengan pengetahuan yang memposisikan bangsa-bangsa yang pernah dijajah hanya sebatas sebagai objek pengetahuan. Dicekal untuk berkembang menjadi subjek dalam ilmu pengetahuan. Ketika manusia-manusia terjajah hendak menjadi subjek bagi ilmu pengetahuan, ia dipaksa menerima suatu anggapan bahwa pengetahuan bukanlah suatu yang ada pada kebudayaan bangsanya, melainkan bahwa ilmu pengetahuan adalah tradisi bangsa penjajah. 

Penjajah memperkenalkan ilmu pengetahuan, memperkenalkan rasionalisme; kesadaran akal budi, menghilangkan mitos dan takhayul. Penjajahan coba diajarkan juga punya peran dalam upaya untuk mentranformasi, mencerahkan kehidupan bangsa yang terjajah. 

Atau membuat kita berpikir bahwa; iya, kami dijajah, sumberdaya alam kami dikeruk, tapi kemudian kami diperkenalkan dengan kehidupan yang modern ala barat penjajah, kami tak lagi mengikut pada tradisi kami yang kuno, kami akan mencoba mengubah cara-cara pribumi yang tradisional, menjadi modern ala penjajah, meski kami menentang penjajahan. Juga ada yang menyangkal penjajah dan penjajahan, sembari menghidupkan semangat kebangsaan, menggali kembali identitas sejarah bangsa dan keluhuran kebudayaannya, mengadopsi barat dengan ilmu pengetahuan, cara pandang, nilai dan etikanya dan memadukan dengan keluhuran budaya bangsa. 

Setidaknya hal-hal tersebut merupakan sebuah upaya-upaya intelektual yang dilakukan pada masa pergerakan kemerdekaan oleh bangsa yang dijajah untuk mencoba menyembuhkan luka batin akibat kejamnya penjajahan dan dampaknya terhadap penjajahan alam pikiran. 

Pertanyaannya, apakah intelektualisme dan cara berpikir rasional tidak kita kenal sebelum diperkenalkan oleh para penjajah? Seandainya kita tidak terjajah, apakah lantas kita tidak akan punya tradisi ilmu pengetahuan sendiri dalam kebudayaan kita? Apakah tanpa kolonialisme dan imperialisme, kebudayaan bangsa kita hanya sebuah kebudayaan statis yang tak berkembang? Saya tidak akan menjawab pertayaan ini secara detil, meski saya akan menjawab bahwa, tanpa kolonialisme, Indonesia dan negeri-negeri di kepulauan telah mengenal Islam sebagai teologi "pembebasan" dari mitos dan takhayul, dan mengenalkan rasionalisme serta punya tradisi ilmu pengetahuan sendiri yang punya struktur yang rapi dan kompleks dan juga dinamis. 

Penjajahan hanya kemudian membuat tradisi ilmu itu berhenti, mengalami stagnasi dan kemudian menjadi asing bagi anak negeri sendiri. Islam telah mengalami suatu proses yang menjadi dasar bagi pembentukan entitas kebudayaan bagi negeri-negeri kepulauan (archipelago) yang jadi cikal-bakal Indonesia saat ini. Islam telah menjadi semangat dan tradisi lokal yang mengakar di hampir seluruh kebudayaan pulau-pulau Nusantara. 

Islam adalah tradisi lokal, tradisi pribumi, tradisi yang asli Indonesia. Maka akan aneh kemudian jika menjadi Islam (dengan ke-universal-an nilainya juga kekhasan lokalnya) di Indonesia hari ini bukan diartikan sebagai menjadi Indonesia, menjadi pribumi, menjadi diri kita sendiri. Apa yang kita bisa lakukan dalam merawat kemerdekaan dan memaknai kemerdekaan adalah dengan menjadi Indonesia, dengan menjadi diri kita sendiri. 

Dan menjadi Islam dalam konteks kebangsaan kita adalah juga bagian dari menjadi diri sendiri, menjadi Indonesia yang sejati. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Book Review)

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Karya bertajuk ' Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ' merupakan salah satu karya penting dalam kajian sejarah peradaban Melayu-Nusantara. Karya ini ditulis oleh ilmuwan terkemuka, Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang disampaikannya dalam pengukuhannya sebagai Professor Bahasa dan Kesusasteraan Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia tahun 1974. Dalam karya ini, Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bagaimana seharusnya penelitian dan pengkajian sejarah, khususnya terhadap sejarah dan kebudayaan dunia Melayu. Ia juga menjabarkan kekeliruan dari pendapat-pendapat ilmuwan Barat dalam menyimpulkan sejarah Melayu-Nusantara. Beliau menyampaikan bahwa sejarah seyogyanya tidak terlalu fokus pada fakta-fakta mikro yang tidak bermanfaat dalam menggambarkan proyeksi sejarah yang utuh. Kumpulan-kumpulan fakta sejarah tersebut haruslah menggambarkan pandangan alam ( worldview  atau  weltsanchauung ) dari sebuah peradaban. Dunia Melayu telah ...

Pertemuan UAS dan Caknun: Bertemunya dua arus kebudayaan; Islam Melayu dan Islam Jawa

Dua orang cerdik-pandai dari dua arus kebudayaan besar Nusantara bertemu. Pembicaraan dua tokoh ini pastinya menghasilkan dialog silang kebudayaan yang amat menarik. Pertemuan UAS dan Caknun bukan hanya soal kebudayaan, lebih dari itu, adalah perkara kebangsaan.  Kita berharap, sekat-sekat etnisitas dan rasialisme yang bertendensi negatif dan mengarah pada prejudisme antar wilayah dan etnis bisa mencair bahkan lenyap di Indonesia. Ini adalah perkara penting dalam pembentukan nation-building Indonesia yang belum sepenuhnya selesai.  Pertemuan ini mewakili bagian dari cita-cita bangsa Indonesia sejak visi imaginer tentang bangsa Indonesia dirumuskan para bapak pendiri bangsa di era pergerakan kemerdekaan. Visi sebuah bangsa yang satu, menyatukan sekat perbedaan ras dan etnis. Keragamaan etnis yang memperkaya kesatuan sebuah entitas kebangsaan yang diandaikan kala itu, Bangsa Indonesia. Dirajut dalam semboyan: Bhineka Tunggal Ika. Indonesia pernah dan masih mengalami ...