Langsung ke konten utama

Kehendak dan Kebahagiaan

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Bagi Arthur Schopenhauer, kehendak buta dan ketidaksadaran yang menentukan manusia, dunia dan sejarahnya. Baginya, akal budi manusia dikuasai oleh kehendak. Kehendak ibarat orang kuat yang buta mengangkat orang lumpuh yang dapat melihat. Manusia, dunia dan sejarah digerakkan oleh kehendak buta yang irasional tersebut. Kehendak yang tanpa alasan logis.kehendak irasional yang tak dapat benar-benar dipahami. Hidup manusia mengalami penderitaan karena kehendak yang menuntut untuk dipuaskan tak kunjung mendapat apa yang ia inginkan. Dan kehendak tidak punya tujuan akhir, ia senantiasa menghendaki. Akibatnya selalu ada penderitaan. Pemuasan satu keinginan menuntutnya untuk minta dipuaskan pada keinginan yang lain. Hal tersebut terjadi secara terus menerus hingga tidak ada kepuasan akhir. Hal inilah yang membuat Scopenhauer melihat secara pesimis hakikat kehidupan sebagai sebuah penderitaan yang tak kunjung henti. Ide tentang penderitaan juga...

Aceh dan Ashab al-Jawi di Haramayn

 

Sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/7e/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Mekkagangers_uit_Aceh_met_twee_Wakils_in_het_Nederlandse_Consulaat_in_Jeddah_TMnr_10001259.jpg
Orang Aceh berhaji ke Mekkah.
Sumber: Tropen Museum Belanda


Oleh: Jabal Ali Husin Sab*

Hubungan antara Muslim di dunia Melayu-Nusantara dan Timur Tengah telah terjalin sejak masa-masa awal Islam. Muslim dari Arab, Persia dan India berlayar untuk menyebarkan Islam di wilayah  Melayu-Nusantara, selain juga untuk tujuan perdagangan. Di masa berikutnya, sejumlah besar para guru sufi yang datang ke Melayu-Nusantara telah banyak berperan dalam proses penyebaran Islam sejak akhir abad ke-12. Secara umum, setidaknya sejak abad ke-17, hubungan yang terbangun antara Melayu-Nusantara dan Timur Tengah adalah di bidang keagamaan dan keilmuan. Azyumardi Azra menganggap keliru pendapat yang mengatakan bahwa hubungan antara dua wilayah dalam dunia Islam ini lebih bersifat politis ketimbang hubungan keagamaan (1994: 16-17).

Meski Azra berpendapat bahwa hubungan Melayu-Nusantara dan Haramayn lebih bersifat keagamaan ketimbang politik, namun ia mengungkapkan bahwa hubungan kedua penguasa negeri Islam tersebut, Sultan Aceh dan Syarif Makkah, memiliki implikasi politik yang penting bagi Aceh. Azra yang merujuk pada riwayat Pires tentang kerajaan Aru bersamaan dengan serangan Aceh (947/1540), juga mengutip sepucuk surat Sultan Johor kepada Sultan Aceh,  menyatakan bahwa Kerajaan Aceh mendapat kehormatan besar dengan menerima “stempel emas Baitul Haram, Makkah” (1994: 55).

Pires (Azra, 1994: 55) berdasarkan sumbernya menyatakan bahwa Sultan Aceh pada masa itu, ‘Ala Al-Din, sebagai “seorang darwisy sufi yang baik dan beriman, yang dihormati sebagai Datos Maulanas (Datok Maulana?-red) tua, yang demi keagungan lebih besar dari Nabi (Muhammad), mengikuti jalan pengunduran diri dari kehidupan yang melelahkan dan penuh nestapa”. Aceh juga secara rutin menerima ulama terkemuka dari Hijaz, Mesir dan Gujarat.

Menurut Azra, kemakmuran kerajaan-kerajaan Muslim Nusantara yang diraih dari hasil perdagangan internasional, telah membuka kesempatan bagi masyarakat Muslim Melayu-Nusantara untuk melakukan perjalanan ke pusat-pusat keilmuan dan keagamaan di Timur Tengah. Hal ini juga didukung oleh upaya Dinasti Usmani dalam mengamankan jalur perjalanan haji. Komunitas Melayu-Nusantara yang  muncul di dua kota suci Makkah dan Madinah atau Haramayn, oleh sumber-sumber Arab disebut dengan istilah Ashab al-Jawiyin (saudara kita orang Jawi).

Selain untuk menunaikan ibadah haji, perjalanan muslim Melayu-Nusantara ke tanah suci juga untuk tujuan ‘rihlah ‘ilmiyah’, perjalanan untuk mempelajari ilmu agama dari para ulama-ulama terkemuka di Makkah dan Madinah. Muslim Melayu-Nusantara yang tinggal di Haramayn selama bertahun-tahun telah melakukan interaksi sosial-keagamaan dengan Muslim lain yang datang dari berbagai wilayah dalam dunia Islam. Hubungan diantara mereka terbangun dalam ikatan kelimuan antara guru-murid maupun dalam hubungan pertemanan/kolega (Fathurrahman 2012: 46-48).

Istilah Jawi atau orang Jawi oleh sumber-sumber Arab dimaksudkan untuk merujuk kepada semua umat Muslim yang datang dari seluruh wilayah Melayu-Nusantara (Asia Tenggara). Syekh Ibrahim al-Kurani (w. 1690), seorang ulama yang berafiliasi dengan Thariqat Syattariyah, murid dari Syakh Ahmad al-Qusyasyi al-Madani (w. 1661)—dua  tokoh ini merupakan guru dari Abdurrauf ibn Ali al-Fanshuri/Syiah Kuala (1615-1693) yang banyak mempengaruhi pemikirannya—juga merupakan ulama yang ada di Haramyn pada masa kurun abad ke-17, menggunakan istilah jama’at al-Jawi untuk merujuk kepada komunitas Melayu-Nusantara di Haramayn.

Azra menyebutkan (1994: 88-89) pada masa itu Syekh Ahmad al-Qusyasyi yang merupakan guru kepada Syekh Ibrahim al-Kurani dan Syekh Abdurrauf al-Fanshuri adalah murid dari Syekh Sibghat Allah (w. di Madinah 1015/1606) dalam Thariqah Syathariyah. Meski dikenal sebagai pengamal Thariqah Sythariyah, namun Syekh Ahmad al-Qusyasyi juga memegang ijazah selusinan thariqat. Yang paling berpengaruh diantara murid-muridnya selain Syekh Ibrahim al-Kurani adalah Syekh Abdullah bin Syekh al-‘Aydrus (guru dari Sayyid Umar Ba Syaiban yang merupakan guru dari Syekh Nuruddin al-Raniry), Hasan bin Ali al-‘Ajami, Sayyid al-‘Alamah al-Wli Barakaat al-Tunisi, Sayyid Abdul Khaliq al-Hindi al-Lahuri, Sayyid Abdurrahman (al-Mahjub) al-Maghribi al-Idrisi, Sayyid Abdullah Bafaqih, Sayyid Ali al-Syaibani al-Zabidi dan sejumlah ulama terpandang Yaman lainnya dari keluarga ‘Alawi dan Ja’man (beberapa tokoh utama keluarga ini juga merupakan guru-guru Syekh Abdurrauf al-Fanshuri dan Syekh Yusuf al-Makassari).

Sejak abad ke-17, setidaknya hubungan dan interaksi Ulama Haramayn dan Ashab al-Jawi turut memberikan kontribusi bagi tradisi besar keilmuan Islam yang berpusat di Haramayn. Jama’at al-Jawiyin pun telah menjadi penghubung bagi tersebarnya berbagai doktrin, konsep, ajaran dan pemikiran intelektual-keagamaan yang berasal dari Haramayn di dunia Melayu-Nusantara. Beberapa tokoh awal yang terkemuka dimana karya-karyanya memberi pengaruh besar hingga kini diantaranya adalah Hamzah Fanshuri, Shamsuddin al-Sumatra’i, Nuruddin al-Raniri (w. 1658), Abdurrauf al-Fanshuri dan Yusuf al-Makassari (1629-1699) (Fathurrahman, 2012: 50).

Oman Fathurrahman (2012) menyebutkan bahwa, kontak intelektual antara jama’at al-Jawiyin dengan para Ulama di Haramayn tetap berlanjut hingga mereka kembali ke kampung halaman di Nusantara. Mereka turut menyatakan atau melaporkan perkembangan kehidupan keagamaan di Tanah Jawi, termasuk meminta penjelasan atau dalam jika diperlukan, mereka turut meminta fatwa .

Hipotesis A.H.Johns (Fathurrahman, 2012), Abdurrauf ibn Ali al-Fansuri (Syiah Kuala) adalah salah seorang dari jama’at al-Jawiyin, murid Ibrahim al-Kurani yang melaporkan situasi keagamaan di wilayah yang disebut dengan bilad al-Jawah. Abdurrauf juga meminta kepada al-Kurani untuk menulis penjelasan tentang kitab al-Tuhfah al-Mursalah yang menjadi sumber kesalahpahaman di dunia Melayu. Hipotesis ini menjadi dasar bagi  Oman Faturrahman yang menyatakan bahwa mereka yang dimaksud al-Kurani adalah masyarakat Muslim di Aceh yang pada masa itu menjadi tempat terjadinya perdebatan intelektual mengenai dokrtin wahdatul wujud.

Berdasarkan laporan tersebut pula, akhirnya Ibrahim al-Kurani mengarang karya monumental berupa kitab Ithaf al-Dhaki  bi sharh al-Tuhfah al-mursalah ila al-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallama, sebagai respon permintaan salah seorang Jama’ah al-Jawiyin untuk memberikan penjelasan dalam meredakan perdebatan di Aceh dan sebagai bentuk klarifikasi kesalahpahaman atas ajaran wahdadul wujud.

Fathurrahman (2012: 15) menilai bahwa Syekh Ibrahim al-Kurani banyak mempengaruhi Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri. Dalam berbagai karya yang dihasilkan oleh Abdurrauf al-Fansuri seperti  Tanbih al-Mashi, Kifayat al-Muhtajin, Daqaiq al-huruf, ia dengan sungguh-sungguh melanjutkan tradisi pemikiran al-Kurani yang cenderung mengafirmasi ajaran wahdat al-wujud dengan tetap mempertahankan teologi Ash’ariyah dan berpegang teguh kepada syariat

Syiah Kuala sendiri adalah yang paling terkenal diantara murid-murid Syekh Ahmad al-Qushashi dan Syekh Ibrahim al-Kurani. Syiah Kuala dalam karyanya Umdat-ul Muhtajin menceritakan bahwa selama pengembaraannya di jalur perjalanan haji dari Aden ke Makkah, ia telah belajar di enam tempat di Yaman. Diantara kota-kota yang dikunjunginya untuk belajar adalah Zabid, Mukha, Tayy, Bayt al-Faqih dan Mawza. Ia kemudian sempat belajar di Dukha di Semenanjung Qatar, kemudian belajar di Makkah dan terakhir di Madinah.

Syiah Kuala mengatakan dalam kitab tersebut bahwa ia belajar ilmu qira’ah al-Qur’an dari Syekh Abdullah al-Adani di Zabid yang ia sebut sebagai qari terbaik di Yaman. Perjalanannya ke Makkah untuk belajar kepada Syekh Ahmad al-Qushashi disebabkan oleh salah satu gurunya di Bayt al-Faqih dan Mawza, Syekh Ibrahim bin Abdullah Ja’man yang mengenalkan ia kepada Syekh Ahmad al-Qushashi (Azra, 2015).

Dalam masanya menuntut ilmu di Jazirah Arab selama 19 tahun, ia belajar tidak kurang dari 15 orang guru, 27 ulama terkenal, dan 15 tokoh sufi kenamaan.

Syekh Abdurrauf al-Fanshuri kemudian kembali ke Aceh dan menjadi seorang ulama yang terkemuka. sejumlah murid yang mendatanginya untuk belajar ilmu agama. Syekh Burhanuddin Ulakan dari Sumatra Barat dan Shaikh Abdul Muhyi Pamijahan dari Jawa Barat merupakan diantara para ulama-ulama Nusantara yang menyebarkan ilmunya dan melanjutkan tradisi keilmuan Syiah Kuala yang berasal dari Haramayn, di wilayah mereka masing-masing di Nusantara.

Referensi

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Penerbit Mizan, Bandung, 1994.

Azyumardi Azra, The Significance of Southeast Asia (The Jawah World) for Global Islamic Studies: Historical and Comparative Perspective, Kyoto Bulletin of Islamic Area Studies, 8 (March 2015), pp 69-87.

Oman Fathurrahman, Ithaf Al-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim Nusantara,Pemerbit Mizan, Jakarta, 2012.

Oman Fathurrahman, Jamaat al-Jawiyyin di Haramayn, http://oman.uinjkt.ac.id/2007/09/jamaat-al-jawiyyin-di-haramayn-dan.html.

 

*Tulisan ini telah dimuat di Seri Informasi Aceh terbitan Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Book Review)

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Karya bertajuk ' Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ' merupakan salah satu karya penting dalam kajian sejarah peradaban Melayu-Nusantara. Karya ini ditulis oleh ilmuwan terkemuka, Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang disampaikannya dalam pengukuhannya sebagai Professor Bahasa dan Kesusasteraan Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia tahun 1974. Dalam karya ini, Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bagaimana seharusnya penelitian dan pengkajian sejarah, khususnya terhadap sejarah dan kebudayaan dunia Melayu. Ia juga menjabarkan kekeliruan dari pendapat-pendapat ilmuwan Barat dalam menyimpulkan sejarah Melayu-Nusantara. Beliau menyampaikan bahwa sejarah seyogyanya tidak terlalu fokus pada fakta-fakta mikro yang tidak bermanfaat dalam menggambarkan proyeksi sejarah yang utuh. Kumpulan-kumpulan fakta sejarah tersebut haruslah menggambarkan pandangan alam ( worldview  atau  weltsanchauung ) dari sebuah peradaban. Dunia Melayu telah ...

Mengapa Manusia tak Bersayap?

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Menaraputih.com Machiavelli pernah berkata bahwa pemimpin harus memiliki sifat keberanian singa dan kelicikan serigala. Perpaduan kedua sifat tersebut dianggap ideal untuk dimiliki seorang pemimpin. Ketika mengumpamakan sifat-sifat hewan untuk mengandaikan sifat ideal bagi seorang pemimpin, Machiavelli sebenarnya sedang menjelaskan tentang hakikat diri manusia, terlepas ia sadari atau tidak. Ungkapan tersebut melukiskan bahwa manusia memiliki potensi sifat-sifat kebinatangan dalam dirinya. Yang membedakan manusia dengan hewan adalah: setiap jenis hewan hanya punya jenis sifat yang identik pada jenisnya; serigala memiliki sifat licik, babi identik dengan sifat tamak dan rakus, hewan-hewan predator memiliki sifat buas dan memangsa. Namun setiap hewan hanya memiliki sifatnya masing-masing. Ular tidak punya sifat singa dan singa tidak punya sifat ular. Sementara manusia mempunyai potensi untuk memiliki semua sifat-sifat yang dimiliki semua hewan. Manusia bis...

Kehendak dan Kebahagiaan

Oleh: Jabal Ali Husin Sab Bagi Arthur Schopenhauer, kehendak buta dan ketidaksadaran yang menentukan manusia, dunia dan sejarahnya. Baginya, akal budi manusia dikuasai oleh kehendak. Kehendak ibarat orang kuat yang buta mengangkat orang lumpuh yang dapat melihat. Manusia, dunia dan sejarah digerakkan oleh kehendak buta yang irasional tersebut. Kehendak yang tanpa alasan logis.kehendak irasional yang tak dapat benar-benar dipahami. Hidup manusia mengalami penderitaan karena kehendak yang menuntut untuk dipuaskan tak kunjung mendapat apa yang ia inginkan. Dan kehendak tidak punya tujuan akhir, ia senantiasa menghendaki. Akibatnya selalu ada penderitaan. Pemuasan satu keinginan menuntutnya untuk minta dipuaskan pada keinginan yang lain. Hal tersebut terjadi secara terus menerus hingga tidak ada kepuasan akhir. Hal inilah yang membuat Scopenhauer melihat secara pesimis hakikat kehidupan sebagai sebuah penderitaan yang tak kunjung henti. Ide tentang penderitaan juga...