Oleh: Jabal Ali Husin Sab Bagi Arthur Schopenhauer, kehendak buta dan ketidaksadaran yang menentukan manusia, dunia dan sejarahnya. Baginya, akal budi manusia dikuasai oleh kehendak. Kehendak ibarat orang kuat yang buta mengangkat orang lumpuh yang dapat melihat. Manusia, dunia dan sejarah digerakkan oleh kehendak buta yang irasional tersebut. Kehendak yang tanpa alasan logis.kehendak irasional yang tak dapat benar-benar dipahami. Hidup manusia mengalami penderitaan karena kehendak yang menuntut untuk dipuaskan tak kunjung mendapat apa yang ia inginkan. Dan kehendak tidak punya tujuan akhir, ia senantiasa menghendaki. Akibatnya selalu ada penderitaan. Pemuasan satu keinginan menuntutnya untuk minta dipuaskan pada keinginan yang lain. Hal tersebut terjadi secara terus menerus hingga tidak ada kepuasan akhir. Hal inilah yang membuat Scopenhauer melihat secara pesimis hakikat kehidupan sebagai sebuah penderitaan yang tak kunjung henti. Ide tentang penderitaan juga...
Dua orang cerdik-pandai dari dua arus kebudayaan besar Nusantara bertemu. Pembicaraan dua tokoh ini pastinya menghasilkan dialog silang kebudayaan yang amat menarik. Pertemuan UAS dan Caknun bukan hanya soal kebudayaan, lebih dari itu, adalah perkara kebangsaan.
Kita berharap, sekat-sekat etnisitas dan rasialisme yang bertendensi negatif dan mengarah pada prejudisme antar wilayah dan etnis bisa mencair bahkan lenyap di Indonesia. Ini adalah perkara penting dalam pembentukan nation-building Indonesia yang belum sepenuhnya selesai.
Pertemuan ini mewakili bagian dari cita-cita bangsa Indonesia sejak visi imaginer tentang bangsa Indonesia dirumuskan para bapak pendiri bangsa di era pergerakan kemerdekaan. Visi sebuah bangsa yang satu, menyatukan sekat perbedaan ras dan etnis. Keragamaan etnis yang memperkaya kesatuan sebuah entitas kebangsaan yang diandaikan kala itu, Bangsa Indonesia. Dirajut dalam semboyan: Bhineka Tunggal Ika.
Indonesia pernah dan masih mengalami ancaman disintegrasi di Aceh dan Papua khususnya, yang masih bergejolak. Konflik agama pernah terjadi di Ambon dan Poso. Konflik etnis di Sampit. Pertemuan-pertemuan semacam ini yang agaknya mampu menggerakkan emosi publik ke arah yang positif di tengah keterbelahan masyarakat akibat politik elektoral (pilpres 2019) yang baru saja kita lalui.
Saya pribadi berharap pertemuan ini meniup angin segar perubahan. Berharap lahirnya ide-ide segar dalam memperbarui (tajdid) visi kebangsaan yang muncul dari pertemuan-pertemuan semacam ini.
UAS bercerita seperti dilansir CNN:
Betapa ia sudah mengenal sosok Cak Nun sejak duduk di bangku kuliah. Sosok Cak Nun, kata dia, ia ketahui saat mengikuti kuliah di kampusnya, IAIN Sultan Syarif Kasim, tahun 1996.
Dalam kelas itu seorang dosennya, Nazaruddin, bicara soal tasawuf. Kemudian mencontohkan sosok Emha Ainun Najib sebagai pelaku tasawuf. UAS mengutip dosennya bahwa tasawuf bukan laku memisahkan diri dengan dunia. Sebaliknya, tasawuf tidak meninggalkan dunia. Seorang yang menempuh ilmu tasawuf bisa terkenal, namun tetap sederhana seperti Emha.
"Sejak saat itu aku mencari-cari berita tentangnya. Tahun 1998, aku ke Mesir, kawanku punya buku-bukunya, ku baca, diantaranya Slilit Sang Kyai. Sampai hari ini, aku tetap menontonnya di Youtube," tulis UAS mengenai perkenalannya dengan nama dan karya-karya Emha.
Jabal Ali Husin Sab
Narasi Bangsa
#indonesiaku #ustadzabdulsomad #caknun #islamindonesia #islamnusantara #kebudayaan #dakwah
Komentar
Posting Komentar